HADITS HASAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliyah
Studi hadits dibina oleh: Dr. Kasman A. Rohim
Oleh:
Ahmad Ikhsan Dimyati
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
OKTOBER 2011
HADITS HASAN
Oleh: Ahmad Ikhsan Dimyati
I. PENDAHULUAN
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, perse tujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: An-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang.
Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Makalah ini mencoba menguraikan secara ringkas pembahasan ilmu hadits seputar hadits hasan, syarat, contoh dan permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan hadits hasan.
a. Timbulnya Istilah Hasan Dalam Kajian Hadis
Ketika berbicara mengenai sejarah pengklasifikasian kualitas hadits pamayoritas para ahli hadits muta’akhirin didalam kitab-kitab ilmu hadits karangan mereka berpendapat bahwa sebelum masa Imam Abu Musa At-Tirmidzi, istilah hadits hasan sebagai salah satu bagian dari pengklasifikasian kualitas hadits belum dikenal dikalangan para ulama hadits.
Pada masa itu hadits hanya diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu hadits sahih dan hadits dhaif. Adapun setelah masa beliau terjadi perkembangan dalam pengklasifiakasian hadits, pada masa ini hadits bila ditinjau dari segi kualitasnya diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Dan beliaulah yang pertama kali memperkenalkan hal itu. Pendapat ini disandarkan kepada pendirian imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah didalam kitab majmu fatawa, beliau menjelaskan:
Orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas pembagian sahih , hasan dan dha’if adalah abu Isa At- Tirmidzi dan pembagian ini tidak dikenal dari seorang pun pada masa-masa sebelumnya. Adapun sebelum masa at-Tirmidzi dikalangan ulama hadits pembagian tiga kualitas hadits ini tidak dikenal oleh mereka hanya membagi hadits itu menjadi sahih dan dhaif (Majmu Fatawa Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah XVII: 23 & 25).
Menurut Imam Ibnu Taimiyyah hadits daif pada masa sebelum Imam At-Tarmidzi itu terbagi menjadi dua macam.
1. Hadits daif dengan kedaifan yang tidak terhalang untuk mengamalkannya dan daif ini menyerupai Hasan dalam istilah At-Tirmidzi.
2. Hadits da’if dengan kedaifan yang wajib ditinggalkan (tidak boleh diamalkan). Karena itu pada masa sebelum imam at-tirmidzi, hadits hasan dikatergorikan kedalam hadits da’if, namun dengan keda’ifan yang tidak terlalu parah hingga layak untuk diamalkan. Itulah sebabnya dikalangan para ulama ada yang berpendapat bahwa hadits da’if boleh diamalkan pada hal-hal yang tidak bersifat esensial, diataranya seperti sirah, tarikh, fadha’ilul amal dan mengamalkan hadits itu lebih mereka sukai dari pada pendapat seseorang (Ra’yu). Menurut imam ibnu Taimiyah hadits hasan yang dimaksud oleh para ulama salaf tersebut adalah hadits yang menempati derajat hasan pada istilah tirmidzi
Anggapan bahwa Imam At-Tirmidzi adalah orang paling pertama yang memperkenalkan istilah hadits Hasan yang diusung oleh Imam
Ibnu Taimiyyah ini, diikuti pula oleh muridnya, Al-Hafid Syamsyuddin
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi di dalam kitabnya, Al-Muqidhah fi
Ilmi Musthalah Al-Hadits dan sebagian besar ulama besar hadits.
Pendapat ini pula yang dipegang oleh Dr. M. Abdurrahman berdasarkan
sebagai mana tulisan beliau pada majalah RISALAH No. 12 Th. 39 Februari 2002 dengan judul “Transformasi Nilai-Nilai Piagam Madinah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Telaah Haditsiyah dan Tarikhiyah”.
Ibnu Taimiyyah ini, diikuti pula oleh muridnya, Al-Hafid Syamsyuddin
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi di dalam kitabnya, Al-Muqidhah fi
Ilmi Musthalah Al-Hadits dan sebagian besar ulama besar hadits.
Pendapat ini pula yang dipegang oleh Dr. M. Abdurrahman berdasarkan
sebagai mana tulisan beliau pada majalah RISALAH No. 12 Th. 39 Februari 2002 dengan judul “Transformasi Nilai-Nilai Piagam Madinah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Telaah Haditsiyah dan Tarikhiyah”.
Namun pendapat Imam Ibnu Taimiyyah ini ditolak oleh Abdul Fatah Abu Guddah pada Tahqiq-nya dalam kitab Al-Muqidhah fi Ilmi Musthalah Al-Hadits ia berkata:
Dan yang benar, sesungguhnya penggunaan istilah Hasan sudah ada dan
dikenal sebelum masa Imam At-Tirmidzi dalam waktu yang lama”.
(Al-Muqiidhah fi Ilmi Musthalah Al-Hadits, 1982: 27).
dikenal sebelum masa Imam At-Tirmidzi dalam waktu yang lama”.
(Al-Muqiidhah fi Ilmi Musthalah Al-Hadits, 1982: 27).
Pendapat Abdul Fatah Abu Guddah dalam mengkritisi pendapat Imam Ibnu Taimiyyah tadi, masih bisa dikatakan berupa sebuah hipotesis yang harus dibuktikan untuk menjadi sebuah kesimpulan, dengan mencari bukti-bukti yang sekiranya layak dijadikan landasan pendapat tersebut.
Dalam hal ini Ibnu Shalah juga memberikan komentar, yang pada akhirnya bisa dijadikan sebagai sebuah landasan dan sekaligus memperkuat pendapat Abdul Fatah Abu Gudah.
Bahwa ditemukan istilah Hasan pada beberapa tempat yang berbeda dari perbincangan sebagian guru-gurunya (Imam At-Tirmidzi) dan generasi sebelumnya seperti Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, dan selain keduanya”.
(Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulum Al-Hadits,:1 18).
(Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulum Al-Hadits,:1 18).
مقدمة بن الصلاح في مصطلح الحديث - (1 / 18)
كتاب أبي عيسى الترمذي رحمه الله أص ل في معرفة الحديث الحسن وهوالذى نوه باسمه وأكثر من ذكره في جامعه ويوجد في متفرقات من كلام بعض مشايخه والطبقةالتى قبله كاحمد بن حنبل والبخاري وغيرها
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Sholah diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pemakaian istilah hasan dalam mengklasifikasikan suatu hadits berdasarkan kualitasnya, sudah dilakukan oleh guru-guru imam turmudzi dan generasi sebelumnya walaupun tidak memasyarakat. Dengan demikian terbantahlah pendapat imam ibnu taimiyah yang mengatakan bahwa imam tirmidzi sebagai orang yang memperkenalkan istilah hadits hasan
b. Pengertian Hadits Hasan
Hasan menurut istilah bahasa ialah sesuatu yang baik dan cantik. Sedangkan menurut terminologi, Hadis Hasan adalah hadits yang muttasil sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith, tetapi kadar kedhabitanya dibawah kedhabitan hadits shohih, dan hadits itu itu tidak ada syadz dan tidak pula terdapat illat (cacat). Berikut ini beberapa definisi tentang hadits hasan menurut para ahli hadits yaitu:
Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)
Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih(Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)
Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân memberikan komentar didalam kitabnya At-Taysir Mustalah Hadits (tt: 46) “Menurut beliau bahwa: Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan kerana adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.
Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan diatas, definisi yang ditawarkan oleh ibnu hajar yang lebih tepat untuk mendefinisikan hadits hasan, yaitu:
Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun Illat di dalamnya (Dr.Mahmûd ath-Thahhân,tt: 46).
Contohnya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِىُّ عَنْ أَبِى عِمْرَانَ الْجَوْنِىِّ عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوفِ » سنن الترمذى - (6/ 417)
Artinya:
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan At-Turmudzy, 6: 417)
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.
c. Istilah-Istilah Lain Yang Semakna Hadits Hasan
Ketika para kritikus mensifatkan suatu hadits pada istilah shohih dan hasan, secara bersamaan mereka menganggapnya pantas mengisyaratkan dengan sebutan-sebutan lain yang secara keseluruhan mengisyaratkan diterimanya hadits itu dan kemungkinannya dijadikan hujjah. Terdapat beberapa istilah yang dapat digunakan untuk hadits yang diterima seperti: Jayyid (bagus), Mujawad (dianggap bagus), Qawiy (kuat), Tsabit (tetap), Mahfudh (dipelihara), Ma’ruf (diketahui), Shahih (baik) dan Muhtasin (dipandang bagus).
Perkataan muhaditsin tentang isltilah هذا حديث حسن الاسناد = ini adalah hadits hasan sanadnya. Maknanya bahwa hadits ini hanya hasan sanadnya saja sedang matan-nya perlu penelitian lebih lanjut. Mukharrij hadits tersebut tidak menaggung kehasanan matan apakah terdapat syadzd atau illat. Sehingga perlu adanya penelitian matan hadits tersebut apakah matanya juga hasan atau tidak.
d. Macam-Macam Dan Syaratnya
Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: Hasan Li Dzath (Hasan dengan sendirinya) dan Hasan Li Gairih
1. Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadits hasan li dzatihi adalah hadits yang terwujud karena dirinya sendiri, yaitu karena mutahaditsnya dan para perawinya memenuhi syarat-syarat hadits shahih akan tetapi terdapat salah seoarang dari perwainya yang kurang dhabit.
Contohnya:
(الترمذي) حدثنا ابو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد ابن عمر وعن ابى سلمة عن ابى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لولا ان اشقّ على امتى لامرتهم بالسّواك عند كلّ صلاة (الترمذى,38: 1)
Artinya:
(Turmudzi berkata) telah menceritakan kepada kami abu kuraib, telah menceritakan kepada kami, abdah bin sulaiman, dari Muhammad Bin Amr, dari abi salamah, dari abi hurairah , ia berkata: telah bersabda rasulullah SAW: jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka bersiwak disetiap waktu shalat.
Hadits diatas jika digambarkan sanadnya seperti dibawah ini:
1. Tirmidzi
2. Abu kuraib
3. Abdah bin sulaiman
4. Muhammad bin amr
5. Abi salamah
6. Abi hurairah
7. Rasulullah SAW
Jika diteliti sanad ini, dari tirmdz hingga sampai kepada nabi, sanad ini bersambung, taitu tiap-tiap seorang mendengan atau mendapat langsung dari yag lain. Semua rawi diatas merupakan para perawi yang adil dan dhabith, kecuali muhammad bin amr, beliau adalah seorang yang adil akan tetapi kedhabitanya kurang, karena lemah hafalanya, pun begitu juga hadits tersebut tidak ada syu-dzudz dan illahnya, oleh karena terdapat salah seorang perawi yang kurang dhabit dalam hafalan maka hadits ini dinamakn hadits hasan lidzatihi.
1. Hadits Hasan Li Ghairihi
Hadits hasan li ghairihi adalah hadits dha’if yang menjadi hasan karena dibantu dari jalan lain. Dimana kedhoifanya tidak disebabkan karena fasik dan pendustanya seorang perawi. Sehingga dari definisi ini diperolehlah sebuah pemahaman bahwa hadits dho’if akan naik derajat menjadi hadits hasan li ghoirihi dengan adanya dua hal yaitu:
1. Diriwayatkan dari jalan lain atas dasar jalan lain tersebut lebih kuat
2. Sebab dho’ifnya dikarenakan lemahnya hafalan perawi hadits atau terputus sanadnya.
Adapun tingkatanya hadits hasan lighoirihi lebih rendah tingkatanya dari pada hadits hasan li dzatihi. Sehingga dapat diperoleh sebuah pengertian bahwa ketika terjadi pertentangan antara hadits hasan lidzatihi dengan hadits hasan lighoirihi maka hadits hasan lidzatihi lebih didahulukan (Dr.Mahmud Ath-Thahan, tt: 52).
Contohnya:
(الترمدي) حدثنا احمد بن منيع حدثنا هشيم عن يزيد بن ابي زياد عن عبد الرّحمن بن ابى ليلى عن البراء بن عازب قال: قال رسول الله صلى عليه وسلم : حقّا على المسلمين ان يغتسلوا يوم الجمعة (الترمدي,319: 3).
Artinya:
(Turmudzi berkata) telah menceritakan kepada kami Ahmad Bin Mani’, telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abi Abdirrahman bin Abi Laila, dari Bara’ bin Azib , ia berkata: telah bersabda rasulullah SAW: Sesungguhnya satu kewajiban atas orang-orang islam adalah mandi pada hari jum’at.
Dari hadits diatas jika sanadnya digambarkan, seperti dibawah ini:
1. Turmudzi
2. Ahmad Bin Mani’
3. Husyaim
4. Yazid bin Abi Ziyad,
5. Abi Abdirrahman bin Abi Laila,
6. Bara’ bin Azib
7. Rasulullah SAW
Dari masing-masing perawi yang ada pada sanad ini, semua teramasuk dalam kategori perawi yang terpercaya kecuali Husyaim terkenal sebagai mudallis. Karena hal ini maka sanadnya dianggap lemah. Namun dibantu dari jalan lain dengan riwayat turmudzi juga yaitu :
1. Turmudzi
2. Ali Bin Hasan Al-Kufi
3. Abi Yahya Ismail bin Ibrahim At-Taimi
4. Yazid bin Abi Ziyad,
5. Abi Abdirrahman bin Abi Laila,
6. Bara’ bin Azib
7. Rasulullah SAW
Para perawi sanad ini semuanya adalah terpercaya kecuali Abi Yahya, seorang yang teranggap lemah, tetapi boleh diterima hadits yang ia riwayatkan. Karena alasan inilah bahwa sanad hadits yang pertama dibantu dengan sanad yang kedua, maka sanad yang pertama itu dinamakan hasan lighairihi.
e. Hasan Shahih Dan Hasan Gharib
1. Makna Ucapan At-Turmudzy Dan Ulama Selainnya, tentang Hadits Hasan Shahîh.
Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
a) Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
b) Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
Dengan demikian dapat diambil sebuah pengertian bahwa Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
2. Hasan Gharib
Adapun istilah hasan gharib tidak sama dengan istilah hadits hasan. Yang dimaksud dengan hadits hasan gharib adalah hasan (bagus) secara sanad dan tidak dikenal/asing (gharib) disebabkan karena salah seorang perawinya meriwayatkan hadits tersebut seorang diri.
f. Statusnya
Dalam beragumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh kerana itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb Ar-Râwy:I/160)
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/educatioan/2179873-pengertian-hadis-hasan/#ixzz1bfkdy7ke
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, 2008, Jakarta
Muhammad Thohan, Taisir Mushthalah Hadits, Daru Al-Hikmah. tt, Jakarta
Hasan, Qadir, Ilmu Musthalah Hadits, CV. Diponegoro, 1996, Bandung.
Zuhri, Muh, Hadits Nabi Telaah Historis Dan Metodologis, PT.Tiara Wacana Yogya 2003, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar