Sabtu, 17 Maret 2012

RUMAH ULAMA DAN ISTANA KHALIFAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN



MAKALAH
Dipresentasikan untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam
Yang dibina oleh :
Prof. Dr. H. Miftah Arifin, M.Ag
Dr. H. Mastuki HS. M.A




Oleh :
ST. MUANIFAH
NIM. 08 49110130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
STAIN JEMBER
DESEMBER 2011

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut Charles Michael Stanton, lembaga pendidikan Islam dimasa Klasik itu ada dua macam yaitu lembaga pendidikan formal dan informal. Lembaga pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh negara untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama dan berperan dalam agama, atau menjadi tenaga birokrasi, atau pegawai pemerintahan. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan informal tidak dikelola oleh negara.
Berbeda dengan Stanton, George Makdisi membagi lembaga pendidikan Islam (sebelum lahirnya madrasah) menjadi 2 tipe, yaitu lembaga pendidikan yang exklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum dan lembaga pendidikan yang inklusif (terbuka) terhadap pengetahuan umum.
Rumah-rumah Ulama dan Istana Khalifah merupakan bagian lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal atau lembaga pendidikan islam sebelum kebangkitan madrasah, yang telah banyak mewarnai perkembangan pendidikan Islam.
Rumah Al-Arqam sebagai bukti utama yang digunakan Rasulullah Saw untuk mengembangkan dakwah Islam. Istana Harun Al-Rasyid juga sebagai bukti sejarah bahwa Istana Khalifah sebagai tempat belajar diantara lembaga-lembaga yang lain sebelum kebangkitan madrasah.
B.      Masalah atau Topik Bahasan
1.      Berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
2.      Rumah Ulama sebagai Lembaga Pendidikan
3.      Istana Khalifah sebagai Lembaga Pendidikan
C.    Tujuan Penulisan Makalah
Untuk membahas tentang berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam secara garis besar, lebih spesifik pembahasan pada rumah ulama sebagai lembaga pendidikan dan istana khalifah sebagai lembaga pendidikan.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
Sebelum berkembangnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah;[1]
1.      Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar
2.      Pendidikan rendah di Istana
3.      Toko-toko kitab
4.      Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)
5.      Majlis atau saloon kesusastraan
6.      Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)
7.      Rumah sakit
8.      Perpustakaan
9.      Masjid, atau
Lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum kebangkitan Madrasah yaitu[2]
1.      Maktab/Kuttab
2.      Halaqah
3.      Majlis
4.      Masjid
5.      Khan
6.      Ribath
7.      Rumah-rumah ulama
8.      Toko-toko Buku dan Perpustakaan
9.      Observatorium dan Rumah Sakit.
B.     Rumah Ulama sebagai Lembaga Pendidikan
Masjid bukanlah satu-satunya tempat diselenggarakannya pendidikan Islam. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum. Sebagai tempat transmisi keilmuan, rumah muncul lebih awal daripada masjid. Sebelum masjid dibangun, ketika di Mekkah Rasulullah menggunakan rumah Al-Arqam sebagai tempat memberikan pelajaran bagi kaum muslimin. Selain itu, Beliau pun menggunakan rumah Beliau sebagai tempat untuk belajar Islam.[3]
Untuk mencapai tujuan dalam menyampaikan risalah tauhid sangat di perlukan suatu wadah atau lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu wadah berprosesnya seluruh komponen pendidikan secara berkesinambungan dalam pencapaian tujuan pendidikan yang sempurna. Adakalanya kelembagaan dalam masyarakat secara eksplisit membuktikan bahwa kuatnya tanggung jawab kultural dan edukatif masyarakat dalam mempraktikkan ajaran Islam.
Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lahirnya pendidikan islam di tandai dengan munculnya lembaga – lembaga pendidikan islam. Ketika wahyu di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW,  
Maka untuk menjelaskan dan mengajarkan kepada para sahabat,Nabi mengambil rumah Al-Arqam bin Abi Arqam sebagai tempatnya, disamping menyampaikan ceramah di berbagai tempat. Atas dasar inilah dapat di katakan rumah Arqam sebagai lembaga pendidikan pertama dalam islam. Hal ini berlangsung kurang lebih 13 tahun. Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih berbentuk halaqah dan belum memiliki kurikulum dan silabus seperti yang di kenal sekarang. Sedangkan sistem dan materi – materi pendidikan yang akan di sampaikan di serahkan sepenuhnya kepada Nabi SAW.[4]
Dengan di jadikanya oleh Rasulullah Muhammad SAW. Rumah  Al-Arqom bin Abi al-Arqom sebagai tempat berkumpul para sahabat dalam menyampaikan wahyu yang di terima dari Allah melalui malaikat Jibril as., ini membuktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam islam. Dalam pendidikan islam selanjutnya, model sistem pendidikan ini terus di kembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan masyarakat, dan zaman.
Sebelum masjid di bangun, maka di samping memberi pelajaran di rumah Al-Arqom itu, Nabi juga mengajar di rumahnya di Mekkah, maka berkumpullah manusia di sekitar beliau untuk menerima pelajaran yang di sajikan oleh Nabi. Kondisi tetap seperti ini hingga turunlah surat al-Ahzab ayat 35. ayat ini di turunkan di madinah sesudah masjid di bangun. Dengan turunnya ayat ini Allah telah meringankan kesibukan Nabi di sebabkan mengalirnya manusia kerumah beliau yang boleh di katakan tidak henti-henti.
Meski rumah bukanlah tempat yang ideal untuk memberikan pelajaran, banyak rumah ulama yang dipakai sebagai tempat belajar. Mungkin saja pelajaran di rumah dapat mengganggu penghuni rumah tersebut, namun ulama-ulama tidak keberatan rumahnya dipakai tempat belajar, Hal ini disebabkan semangat menyebarkan pengetahuan mereka dan karena belajar mengajar mempunyai nilai ibadah. Mereka dengan ikhlas dan senang hati menyediakan rumah-rumah mereka sebagai kelas-kelas belajar. Belajar di rumah-rumah ulama merupakan fenomena umum di masyarakat Islam. Ini menunjukkan tidak ada rasa terganggu atau berat hati bila rumah mereka dipakai tempat belajar. Seharusnya, mereka berbangga hati karena pelajar-pelajar harus datang ke rumah mereka untuk bertanya dan belajar. Banyak laporan sejarah yang menjelaskan bahwa banyak pelajar yang menunggu di depan pintu rumah ulama-ulama. Mereka kesana untuk mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi atau mendiskusikan persoalan-persoalan fiqih. Ada diantara mereka yang menghadap ulama untuk meminta riwayat hadis, mendengarkan puisi, atau belajar ilmu lainnya.[5]
Diantara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Gazali, Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah Al-Aziz billah Al-Fatimy.
Selanjutnya Ahmad Syalabi, mengemukakan bahwa dipergunakannya rumah-rumah ulama dan para ahli tersebut adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat,  misalnya rumah Al-Gazali setelah tidak mengajar lagi di Madrasah Nidamiyah dan menjalani kehidupan sufi. Para pelajar terpaksa datang  ke rumahnya karena kehausan akan ilmu pengetahuan  dan terutama karena pendapatnya yang sangat menarik perhatian mereka. Sama halnya dengan Al-Gazali, adalah  Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, yang dituduh sebagai seorang Syi’ah kemudian dipecat dari mengajar di Madrasah Nidamiyah, lalu mengajar di rumahnya sendiri. Beliau-beliau, karena dikenal sebagai guru dan ulama yang kenamaan maka kelompok-kelompok pelajar tetap mengunjungi di rumahnya untuk meneruskan pelajaran.[6]
C.    Istana Khalifah sebagai Lembaga Pendidikan
Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak – anak para pejabat, adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas tugasnya kelak setelah ia dewasa. Atas dasar pemikiran tersebut, Kholifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainya berusaha menyiapkan agar anak – anaknya sejak kecil sudah di perkenalkan dengan lingkungan dan tugas – tugas yang akan di embannya nanti. Oleh karena itu mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan  kepada  anak –anak mereka.
            Pendidikan anak di istana  berbeda dengan pendidikan anak – anak di kuttab pada umumnya. Di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran dan tujuan yang di kehendaki oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana itu di sebut mu’addib. Kata mu’addib berasal dari kata adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan.guru pendidikan anak di istana di sebut mua’ddib, karena berfungsi mendidikkan budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan orang – orang dahulu kepada anak-anak pejabat.[7]
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupannya nanti.
Pendidikan di istana,  tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid dan madrasah. Guru istana di namakan dengan muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahua bahkan muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak sebagaimana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan sebagai berikut: “Ajarkan kepada anak- anak itu berkata benar sebagaimana kau ajarkan Al-Qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi, karena mereka amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-anak itu dari pemalu karena pemalu itu merusak mereka. Gunting rambut mereka supaya tebal kuduknya. Beri makan mereka dengan daging supaya kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka supaya mereka menjadi orang besar dan berani. Suruh mereka menyikat gigi dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan dengan bersuara,(seperti hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada mereka hendaklah dengan tertutup tiada di ketahui oleh seorang pun.”[8]
Contoh dari rencana pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang dikemukakan oleh pembesar istana kepada pendidik anak-anaknya agar dijadikan sebagai pedoman.
Adapun rencana pembelajaran di istana sebagai berikut:                                         
1. Al-Qur’an (kitabulah)
 2. Hadis-hadis yang termulia
 3. Syair – Syair yang terhormat 
 4. Riwayat hukamah
 5. Menulis membaca dan lain – lain
Petunjuk-petunjuk dan Nasehat pembesar istana kepada Muaddib.
1.      Berkata Amru Ibnu Utbah kepada pendidik putranya;
“Kerjamu yang pertama untuk memperbaiki putra-putriku ialah memperbaiki dirimu sendiri, karena mata mereka selalu terikat kepadamu. Apa yang kamu perbuat itulah yang baik menurut pandangan mereka, dan yang buruk ialah yang kamu tinggalkan. Ajarkanlah kepada mereka Al-Qur’an, tetapi jagalah agar mereka tidak sampai merasa bosan, karena kalau sampai demikian Al-Qur’an itu akan ditinggalkannya, dan janganlah mereka dijauhkan dari Al-Qur’an, nanti mereka meninggalkan Al-Qur’an sama sekali. Riwayatkanlah kepada mereka hadis dan syair yang baik-baik. Jangan kamu bawa mereka berpindah dari suatu ilmu ( sesuatu pelajaran) kepada ilmu yang lain sebelum ilmu itu difahaminya betul-betul. Sebab ilmu yang bertimbun-timbun dalam otak sukar difahamkan. Ajarkanlah kepada mereka jalan orang-orang bijaksana. Jauhkan mereka dari berbicara dengan perempuan-perempuan. Janganlah engkau bersandar kepada kemaafanku, karena akupun telah menyerahkan sepenuhnya kepada kecakapanmu”.[9]
2.      Harun Al-Rasyid telah mengajukan rencana pelajaran bagi putranya (Al Amin) dengan mengatakan sebagai berikut;
“Hai Ahmar! Sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka jadikanlah tanganmu terbuka kepadanya dan ketaatannya kepadamu wajib. Janganlah berdosa terhadapnya agar engkau selalu berada ditempat kedudukanmu yang telah ditentukan oleh Amirul Mu’minin. Bacakanlah kepadanya Al-Qur’an. Ceritakanlah kepadanya peristiwa-peristiwa. Riwayatkan kepadanya syair-syair. Ajarkanlah kepadanya sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw. Tunjukkan kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan memulainya. Laranglah dia ketawa kecuali pada waktunya. Biasakanlah dia menghormati orang-orang besar Bani Hasyim bila mereka mengunjunginya, dan meninggikan tempat duduk panglima-panglima tentara, bila mereka menghadiri majelisnya. Jangan dibiarkan waktu berlalu walaupun sesaat tanpa  engkau ikhtiarkan sesuatu yang berfaedah baginya, tetapi dengan tidak menyusahkan hatinya, karena bila hatinya susah tumpullah otaknya. Janganlah engkau terlampau berlapang dada terhadapnya, karena dengan demikian dia akan malas bekerja dan terbiasa menganggur. Asuhlah dia dengan baik dan lemah lembut sedapat mungkin, akan tetapi kalau yang demikian tidak mempan terhadapnya maka pakailah kekuatan dan kekerasan terhadapnya.[10]
3.      Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya matamu. Aku serahkan kepada engkau untuk memberi adab kepadanya. Maka, tugas engkau adalah bertakwa kepada Allah dan menunaikan amanah. Wasiatku yang pertama kepada engkau supaya engkau ajarkan kepadanya kitabulah. Kemudian engkau riwayatkan kepadanya syair – syair yang baik. Sesudah itu engkau ajarkan riwayat kaum Arab dan syair mereka yang baik. Perlihatkan kepadanya sebagian yang halal dan yang haram serta pidato pidato dan riwayat peperangan”.
                                                                     

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Masjid bukanlah satu-satunya tempat diselenggarakannya pendidikan Islam. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum. Sebagai tempat transmisi keilmuan, rumah muncul lebih awal daripada masjid. Sebelum masjid dibangun, ketika di Mekkah Rasulullah menggunakan rumah Al-Arqam sebagai tempat memberikan pelajaran bagi kaum muslimin. Selain itu, Beliau pun menggunakan rumah Beliau sebagai tempat untuk belajar Islam.
Dengan dijadikannya oleh Rasulullah Saw. rumah  Al-Arqom bin Abi al-Arqom sebagai tempat berkumpul para sahabat dalam menyampaikan wahyu yang di terima dari Allah melalui malaikat Jibril as., ini membuktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam islam. Dalam pendidikan islam selanjutnya, model sistem pendidikan ini terus di kembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan masyarakat, dan zaman.
Pendidikan anak di istana  berbeda dengan pendidikan anak – anak di kuttab pada umumnya. Di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran dan tujuan yang di kehendaki oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana itu di sebut mu’addib. Kata mu’addib berasal dari kata adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan.
Pendidikan di istana,  tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid dan madrasah. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahua bahkan muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak.
Rencana pembelajaran di istana  antara lain; Al-Qur’an (kitabulah), Hadis-hadis yang termulia, Syair – Syair yang terhormat, Riwayat hukamah, Menulis membaca dan lain – lain. Sedangkan petunjuk-petunjuk yang dikemukakan oleh pembesar istana kepada pendidik anak-anaknya agar dijadikan sebagai pedoman.

B.     Saran
Setelah membahas topik diatas kita akhirnya tahu betapa ulama-ulama dan para khalifah/pemimpin terdahulu diawal perkembangan islam, sangat memperhatikan pendidikan untuk putra-putrinya dan generasi penerus perjuangan Islam dengan penuh arif dan bijaksana, sehingga diharapkan bagi penulis dan pembaca bisa introspeksi dan berusaha mampu memperbaiki atas kekurangan-kekurangannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.


















DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanun. 2001. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
Nizar, Samsul. 2009.  Sejarah Pendidikan Islam ,Jakarta: Kencana.
Zuhairini, dkk. 2010.  Sejarah Pendidikan Islam ,Jakarta: PT Bumi Aksara.. 
Syalabi, A. 1973. Sejarah Pendidikan Islam (Terj. Muhtar Yahya), Jakarta: Bulan Bintang.


[1]Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,2010), 89.
[2]Hanun Asrohah, Sejarah pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,  2001),  67.
[3] Ibid, 67.
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2009), 110.
[5]Hanun Asrohah,  Sejarah Pendidikan Islam, 67.
[6] Zuhairini, dkk,  Sejarah Pendidikan Islam, 95.
[7]Ibid, 92. 
[8] Samsul nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 61.
[9] A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Terj. Muhtar Yahya), (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 51.
[10] Ibid, 60-61.

0 komentar:

Posting Komentar