Sabtu, 17 Maret 2012

HADITS DITINJAU DARI KUALITASNYA (HADITS SHAHIH)



MAKALAH
Dipresentasikan untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Hadits
Yang dibina oleh :
Prof. Dr. H. Moh. Ishom, MA
Dr. Kasman A. Rohim, M.Fil





Oleh :
ST. MUANIFAH
NIM. 08 49110130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
STAIN JEMBER
NOPEMBER 2011




DAFTAR ISI

Halaman Judul .........................................................................................................................  i
Daftar Isi .................................................................................................................................  ii
BAB I   ;  PENDAHULUAN .................................................................................................  1
1.1   Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2   Rumusan Masalah .............................................................................................  1
1.3  Masalah atau Topik Bahasan .............................................................................. 2
BAB II  :  PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.1 Hadits Shahih menurut kriteria Muhadditsin mutaqaddimin, Muhadditsin muta’akhkhirin dan Fuqaha ................................................................................ 3
2.2  Macam-macam Hadits Shahih ........................................................................... 7
2.3  Hadits Shahih dan Isnad Shahih ........................................................................ 8
2.4  Rijal tsiqah dan Rijal muwatstsaqun ................................................................ 12
BAB III:  PENUTUP ...............................................................................................................14
3.1  Kesimpulan ........................................................................................................14
3.2  Saran ..................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................16










BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Semua perkataan, perbuatan dan ketetapan  (taqrir) Nabi Muhammad Saw adalah Sunnah, yang dituangkan dalam hadits Rasulullah Saw dan sebagai pedoman hidup bagi ummat Islam seluruh dunia setelah Al-Qur’an Al-Karim.
Pembagian hadits dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadis mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir memberikan pengertian kepada yaqin bi al-qath’i, bahwa Nabi Muhammad Saw benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan iqrar (persetujuannya) dihadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat berbuat dusta kepada Rasulullah Saw. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya benar-benar telah meyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad, yang hanya memberikan faedah zhanny (prasangka kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matannya, sehingga status hadits ahad tersebut menjadi jelas “Apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak”.  
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Hadits ditinjau dari kualitasnya dengan sub topik Hadits Shahih.
1.2   MASALAH ATAU TOPIK BAHASAN
1.2.1 Hadits Shahih menurut kriteria Muhadditsin mutaqaddimin, Muhadditsin   muta’akhkhirin dan Fuqaha
1.2.2 Macam-macam hadits shahih
1.2.3 Hadits shahih dan isnad shahih
1.2.4 Rijal tsiqah dan Rijal muwatstsaqun
1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH
            Untuk mengetahui Hadits shahih menurut kriteria Muhadditsin mutaqoddimin, Muhadditsin muta’akhkhirin dan fuqaha, macam-macam hadits shahih, hadits shahih dan isnad shahih, rijal tsiqah dan rijal muwatstsaqun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Hadits shahih menurut kriteria Muhadditsin mutaqaddimin, Muhadditsin muta’akhkhirin dan Fuqaha.
Definisi Hadits Shahih
Seperti diketahui, Hadits ahad terbagi menjadi 3 kategori; shahih, hasan, dan dha’if.
Hadits shahih didefinisikan sebagai Hadits yang sanadnya mutthasil (bersambung) sampai kepada Nabi Muhammad Saw, melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral yang baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektualitas (dlabth) yang mumpuni, tanpa ada kejanggalan dan cacat, baik dalam matan maupun sanadnya.[1]
            Berdasarkan definisi diatas, hadits shahih harus memenuhi syarat yaitu:
1.      Sanadnya bersambung
2.      Diriwayatkan oleh perawi yang adil
3.      Diriwayatkan oleh perawi yang dhabit
4.      Terhindar dari syazd
5.      Terhindar dari ‘illat                                            
Menurut jumhur Muhadditsisin, Hadits adalah
مااضي الى النبي صلى الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او نحوﻫﺎ
            “Sesuatu yang disandarkan pada nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (takrir) dan sebagainya”.[2]
Hadits Shahih menurut Muhadditsin ialah:
ما نقله عدل تام الضبط متصل السند غير معال ولا شاذ
            “Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal”.[3]
Hadits yang memenuhi kelima syarat diatas dinilai shahih. Dan ulama menilai wajib mengamalkannya. Akan tetapi sebagian kritikus hadits lebih memilih sebutan “Hadits Shahihul Isnad”  daripada sebutan “Hadits Shahih”, karena khawatir matannya syadz atau mu’allal, sehingga yang shahih hanya sanadnya. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada kelaziman hubungan antara keshahihan sanad dan keshahihan matan. Syeikhul Islam Ibnu Hajar mengatakan, yang tidak syak lagi adalah bahwa seorang imam diantara mereka tidak beralih dari sebutan “shahih” ke sebutan “shahihul isnad” kecuali karena alasan tertentu. Namun bila yang menyatakan sebutan itu adalah perawi yang hafidz lagi bisa dipercaya, tanpa menyebut ‘illah qadihah terhadap hadits yang bersangkutan, maka jelas menunjukkan keshahihan matan pula.
Pengertian hadits shahih secara definitif eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadits dari kalangan al-muttaqaddimin ( sampai abad ke III H ). Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan mengenai kriteria penerimaan hadits yang dapat dipegangi. Diantara pernyataan-pernyataan mereka adalah: “tidak diterima periwayatan suatu hadits kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqat, tidak diterima periwayatan suatu hadits yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadits, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.[4]
Gambaran pengertian hadits shahih agak jelas setelah Imam Syafi’i memberikan ketentuan bahwa riwayat suatu hadits dapat dijadikan hujjah, apabila:
a.       Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya; dikenal sebagai orang yang jujur memahami dengan baik hadits yang diriwayatkan mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadznya; mampu meriwayatkan hadits secara lafadz; terpelihara hafalannya, bila meriwayatkan hadits secara lafadz, bunyi hadits yang diriwayatkan oleh orang lain; dan terlepas dari tadlis (penyembunyian cacat).
b.      Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW, atau tidak sampai kepada Nabi.
Imam Syafi’i dipandang sebagai ulama yang mula-mula menetapkan kaidah keshahihan hadits. Pendapat ini sangat logis, sebab bila dikaji pernyataan Imam Syafi’i tersebut bukan hanya berkaitan dengan sanad, akan tetapi berkaitan juga dengan matannya, sehingga dengan kriteria-kriteria seperti ini, kiranya sulit dikatakan bahwa haditsnya tidak shahih.
Bukhari dan Muslim, sebagai tokoh ahli hadits dan hadits-hadits yang diriwayatkannya diakui sebagai hadits yang shahih, ternyata juga belum membuat definisi hadits shahih secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan penelitian mengenai cara-cara yang ditempuh oleh keduanya untuk menetapkan suatu hadits yang bisa dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenai kriteria hadits shahih menurut keduanya yaitu;
1)      Rangkaian perawinya dalam sanad itu harus bersambung
2)      Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil dan dhabith.
3)      Hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal)
4)      Para perawinya yang terdekat dengan sanad harus sezaman.
Hanya saja antara keduanya terjadi perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad. Menurut Bukhari, sanad hadits dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali, sedangkan menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman (al-mu’asharah) sudah dikatakan sanadnya bersambung.
Ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa Bukhari juga menetapkan syarat “Terjadinya periwayatan harus dengan cara al-sama’ ”, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa persyaratan hadits shahih yang ditetapkan oleh Imam Bukhari lebih ketat daripada persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim.
Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadits shahih sebagai berikut;
 ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ ﺍﻠﺼﺤﻴﺢ ﮬﻮ ﺍﻟﺤﺪ ﻴﺚ ﺍﻟﻤﺴﻧﺪ ﺍﻟﻧﻱ ﻴﺘﺼﻞ ﺇﺴﻧﺎ ﺪﻩ ﺑﻧﻘﻞ ﺍﻟﻌﺪﻞ ﺍﻟﻀﺎﺑﻄ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﺪﻞ ﺍﻟﻀﺎﺑﻄ ﺇﻟﻰ ﻤﻧﺗﻬﺎﻩ ﻮﻻﻴﮐﻮﻦ ﺸﺎﺬﺍ ﻮﻻ ﻤﻌﻠﻼ
“Hadis shahih yaitu hadis musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatan oleh orang yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang  kejanggalan dan cacat".
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi:
 ﻤﺍﺍﺘﺼﻞ ﺴﻨﺪﻩ ﺒﺎﻠﻌﺪﻮﻞ ﺍﻟﻀﺎﺒﻁﻴﻦ ﻤﻦ ﻏﻴﺮ ﺸﺬﻮﺬ ﻮﻻﻋﻠﺔ
“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat”.
Ajjἀj Al-Khathỉb memberikan pengertian hadits shahih, yang merupakan hasil ramuan dari pengertian-pengertian yang diajukan para ulama ahli hadits yang hidup pada masa sebelumnya menjadi;
 ﻤﺎﺍﺘﺼﻞ ﺴﻨﺪﻩ ﺒﺮﻮﺍﻴﺔ ﺍﻠﺛﻘﺔ ﻋﻦ ﺍﻠﺜﻘﺔ ﻤﻥ ﺍﻮﻠﻪ ﺍﻠﻲ ﻤﻨﺘﻬﺎﻩ ﻤﻦ ﻏﺭ ﺸﺬ ﻭﺬ ﻭﻻ ﻋﺎﺔ
“yaitu yang bersambung sanadnya dengan riwayat yang dapat dipercaya dari yang bisa dipercaya dari awal sanad hingga akhir sanad dengan tanpa ada cela dan cacatnya”.
Sebagian ulama muta’akhirin ketika menshahihkan sebagian hadits akan mengatakan “shahihul isnad”. Hal ini disebabkan oleh kewira’ian dan kehati-hatian mereka. Namun kita tidak perlu ragu, bahwa yang mereka maksudkan adalah hadits shahih.[5]
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan).
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu al-Quran dengan hadits mutawatir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Ḫazm Al-Dhἀḫiri menetapkan bahwa hadits shahih memfaedahkan Ilmu qath’i dan wajib diyakini. Dengan demikian hadits shaḫỉḫ dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.
            Hadits shahih merupakan bagian dari hadits ahad yang rawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, sehingga perlu diadakan penelitian rawi-rawinya dan segi lain untuk mencari kelayakan apakah hadits tersebut bisa dijadikan hujjah atau tidak.
Ulama dari berbagai bidang keislaman sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah hanya hadits yang berkualitas shahih. Maka para Muhadditsin menetapkan kriteria keshahihan hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan.
2.2  Macam-macam hadits shahih
Hadits shahih ada dua macam :
1.      Shahih li dzatihi
Shahih li dzatihi adalah hadits shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara
Maksimal.[6]
Kedhabithan seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan hadits shahih li dzatihi turun nilainya menjadi hadits hasan li dzatihi. Akan tetapi jika kekurangsempurnaan rawi tentang kedhabithannya itu dapat ditutup. Misalnya Hadits Hasan li dzatihi tersebut mempunyai sanad lain yang lebih dhabith, naiklah Hadits Hasan li dzatihi ini, menjadi hadits Shahih li ghairihi.[7]
2.      Shahih li ghairihi
Shahih li ghairihi adalah hadits hasan li dzatihi bila diriwayatkan melalui jalan
lain (lebih dari satu sanad) yang semisal dengannya, atau lebih kuat darinya. Dinamakan shahih li ghairihi karena keshahihannya bukan berasal dari sanad hadits itu sendiri, melainkan datang dari penggabungan riwayat lain. Kedudukannya lebih tinggi dari hasan li dzatihi dan masih dibawah shahih lidzatihi. [8]
            contohnya :
            diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadits Muhammad bin Amru, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda:
 لولا ان اشق على امتي لامر تهم بالسواك عند كل صلة
“Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintah mereka untuk bersiwak di waktu tiap-tiap hendak shalat”.
            Disini kita dapatkan, Muhammad bin Amru bukanlah termasuk orang yang mutqin. Sebagian ulama menganggapnya dhaif  karena buruk dalam hafalannya. Sebagian yang lain menganggapnya tsiqah karena kejujuran dan kemuliaannya. Maka haditsnya adalah hasan. Dan ketika riwayat lain dipadukan dengan hadits ini, maka tertutuplah kelemahan tersebut, sehingga sanadnya menjadi shahih dan menempati derajat yang shahih, sebagaimana Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.
2.3    Hadits shahih dan Isnad shahih
A.    Pengertian hadits shahih
Shahih menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Ini adalah makna hakiki pada jasmani. Sedangkan dalam penggunaannya pada hadits dan makna-makna yang lain, ia adalah makna yang majazi.[9]
Shahih menurut istilah ilmu hadits ialah:”satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,disampaikan oleh orang-orang yang adil,memiliki kemampuan menghafal yang sempurna(dhabith),serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya(syadz) dan tidak ada ‘illat yang berat”.
Dari definisi ini jelaslah bahwa untuk hadits shahih dipersyaratkan adanya 5 syarat berikut:
1.      Sanadnya bersambung: yaitu setiap perawi telah mengambil hadits secara langsung dari gurunya mulai dari permulaan sampai akhir sanad.
2.      Para perawi yang adil: yaitu setiap perawi harus seorang yang muslim,baligh,berakal, tidak fasik, dan berperangai yang baik.
3.      Dhabth yang sempurna, yaitu setiap perawi harus sempurna hafalannya. Dhabth ada dua macam: dhabth sadr, dan dhabth kitab.
Dhabth sadr adalah bila seorang perawi benar-benar hafal hadits yang telah didengarnya dalam dadanya, dan mampu mengungkapkannya kapan saja.
Dhabth kitab adalah bila seorang perawi “menjaga” hadits yang telah didengarnya dalam bentuk tulisan.
4.      Tidak ada syudzudz (syadz), yaitu hadits tersebut tidak syadz. Syudzudz adalah jika seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
5.      Tidak ada ‘illat yang berat, yaitu hadits tersebut tidak boleh ada yang cacat.
‘Illat adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat merusak status keshahihan hadits meskipun zhahirnya tidak nampak ada cacat.
            Jika salah satu dari lima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ia tidak dapat dinamakan sebagai hadits shahih.
Karya-karya yang hanya memuat hadits-hadits yang shahih
            Diantaranya adalah:[10]
1.      Shahih Bukhari
2.      Shahih Muslim
Namun para ulama berselisih pendapat tentang yang mana yang paling shahih
diantara keduanya:
a.       Jumhur ulama mengatakan bahwa Shahih Bukhari lebih shahih dari Shahih Muslim, karena syarat-syarat yang ada pada Shahih Bukhari lebih sempurna dan lebih ketat dari pada Shahih Muslim. Dari segi bersambungnya sanad, Imam Bukhari mengharuskan seorang perawi untuk bertemu langsung dengan gurunya meskipun hanya sekali, sementara Muslim hanya mencukupkan dengan syarat perawi hidup semasa dengan gurunya dan memungkinkan untuk bertemu. Dari segi kedhabithan dan keadilan, para perawi yang dimuat Haditsnya oleh Imam Muslim lebih banyak mendapat kritikan dari pada perawi yang dimuat oleh Imam Bukhari. Dari segi syudzudz dan ‘illat, hadits Shahih Bukhari mendapatkan kritikan yang jumlahnya lebih sedikit dari pada hadits-hadits Shahih Muslim. Hadits-hadits yang dikritik dalam kedua kitab ini mencapai 210 hadits, kurang dari 80 hadits terdapat dalam Shahih Bukhari, 32 hadits terdapat dalam keduanya dan sisanya (sekitar 98 hadits) terdapat dalam Shahih Muslim.
b.      Pendapat lain mengatakan, Shahih Muslim lebih Shahih dari Shahih Bukhari. Dinukil dari perkataan Abu Ali An-Naisaburi yang menyatakan, “Tidak ada buku yang lebih shahih dibawah langit ini kecuali Shahih Muslim”.
Pendapat ini dibantah, bahwa An-Naisaburi dalam pernyataannya tidak secara jelas mengatakan bahwa Shahih Muslim lebih shahih dari pada Shahih Bukhari, akan tetapi menafikan adanya buku yang lebih Shahih dari Muslim, bukan menafikan adanya buku yang sama tingkat keshahihannya dengan Shahih Muslim.
Dinukil pula dari sebagian ulama maghrib pendapat yang lebih mengutamakan Shahih Muslim atas Shahih Bukhari.
Jumhur ulama menjelaskan pendapat-pendapat ini dengan menyatakan bahwa melebihkan Shahih Muslim atas Shahih Bukhari mungkin karena dari sistematika dan pembahasannya, Shahih Muslim lebih baik dari Shahih Bukhari.
Jumlah hadits dalam Shahih Bukhari sebanyak 7275 hadits termasuk yang diulang, dan 4000 hadits tanpa pengulangan. Sedangkan dalam Shahih Muslim sebanyak 12.000 hadits termasuk yang diulang, dan 4000 hadits tanpa pengulangan.
c.       Mustadrak Al-Hakim: berisi tentang hadits-hadits shahih yang sesuai dengan syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim, atau syarat salah satu diantara keduanya, namun tidak diriwayatkan oleh keduanya. Didalamnya juga berisi hadits-hadits yang shahih menurut penyusunnya (Imam Al-Hakim-Edt), meskipun tidak sesuai syarat-syarat Bukhari-Muslim. Namun dalam hal penentuan keshahihan hadits, Al-Hakim termasuk ulama yang menggampangkan (mustasahil).
d.      Shahih Ibnu Hibban: namun beliau belum menyusunnya berdasarkan sistematika bab dan musnad, sehingga mempersulit dalam penelitian terhadap hadits-hadits yang dalam didalam kitab tersebut. Beliau juga termasuk orang yang mempermudah dalam menghukumi keshahihan sebuah hadits, namun tidak terlalu lunak dan mempermudah seperti Al-Hakim.
e.       Shahih Ibnu Khuzaimah: derajat dan tingkatannya lebih tinggi dari pada Shahih Ibnu Hibban, karena penyusunnya (Ibnu Khuzaimah sangat hati-hati dalam menghukumi sebuah hadits.           
Tingkatan Hadits Shahih
1.      Bila diriwayatkan dengan sanad-sanad dari “ashahhul asanid” (sanad paling shahih) seperti Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
2.      Bila disepakati oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaihi).
3.      Bila diriwayatkan oleh Bukhari saja.
4.      Bila diriwayatkan oleh Muslim saja.
5.      Bila sesuai syarat keduanya meskipun tidak diriwayatkan oleh keduanya.
6.      Bila sesuai syarat Bukhari saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.
7.      Bila sesuai syarat Muslim saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.
8.      Apabila shahih menurut para ulama selain Bukhari dan Muslim seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan tidak sesuai syarat keduanya.
Kemudian Imam Ibnu Taimiyah Majduddin Abdussalam bin Abdillah
Al-Harrani (kakek dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-Edt) telah menyebutkan dalam kitabnya “Muntaqal Akhbar min Ahaditsi sayyidil Akhyar” setiap yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad dangan istilah “muttafaq ‘alaihi”, dan menyebut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan istilah “akhrajaahu” (dikeluarkan atau diriwayatkan oleh keduanya-Edt).
B. Isnad Shahih
Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran” atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah:[11]
ا الاخبار عن طريق المتن
“Berita tentang jalan matan”
Yang lain menyebutkan :
   سلسلة الرجال الموصلة للمتن
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya pada matan hadis”.
Ada juga yang menyebutkan ;
  سلسلة الرواة الذين نقلو المتن عن مصزره الاول
            “Silsilah para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama”.
Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad, al-musnid, dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
            Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan disini ialah menyandarkan hadis kepada yang mengatakannya (raf’u hadits ila qa’ilih atau ‘azwu hadits ila qa’ilih). Menurut Al-Thiby, sebenarnya kata al-isnad dan al-asnad digunakan oleh para ahli hadis dengan pengertian yang sama.
2.4    Rijal tsiqat dan Rijal muwatstsaqun
Rijaluhu tsiqat  (رجاله ثقات), artinya rawi-rawinya orang kepercayaan.
Rijaluhu Muwats-Tsaquun  رجاله موثقون )), artinya rawi-rawinya dianggap kepercayaan.
Rijaluhu tsiqat berbeda dengan Rijaluhu Muwats-tsaquun. Rijaluhu tsiqat menunjukkan bahwa rawi-rawinya itu dari asal sudah kepercayaan, seperti:
1.      Hammad bin Salamah
2.      Hisyam bin Urwah
3.      Muhammad bin Katsir
4.      Ikrimah
5.      Abdul A’la
6.      Dan semua rawi dari Bukhari dan Muslim.
Adapun Rijaluhu (Ruwatuhu) Muwats-tsaqun itu menunjukkan kepada rawi-rawi yang tidak begitu terang sifat kepercayaannya, sehingga diperselisihkan oleh ulama, tetapi dengan beberapa alasan, dianggap atau dimasukkan mereka dalam golongan rawi-rawi kepercayaan, seperti:
a.       Abdullah bin Wahb bin Muslim; ada ulama ragu-ragu tentang dirinya, tetapi dengan beberapa keterangan teranggaplah ia sebagai seorang kepercayaan.
b.      Makhramah bin Bukair bin Abdillah; ada yang menganggap ia lemah, tetapi dengan beberapa jalan, dimasukkan dia dalam rawi-rawi kepercayaan.
Maka hadits yang dikatakan: “Ruwatuhu (Rijaluhu) tsiqat” dan “Muwats-tsaquun” itu kedudukannya hampir sama dengan Isnaduhu Shahih.
            Bedanya : “Ruwatuhu (Rijaluhu) tsiqat” itu melihat kepada rawi-rawinya  sedang “Isnaduhu Shahih” melihat rawi-rawi dan jalan menyandarkannya.
            Sebagaimana Isnad shahih, maka hadits yang disebut “Rijaluhu tsiqat” dan seumpamanya, tidak mesti ma’na haditsnya juga jadi syah.[12]








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadits shahih merupakan bagian dari hadits ahad yang rawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, sehingga perlu diadakan penelitian rawi-rawinya dan segi lain untuk mencari kelayakan apakah hadits tersebut bisa dijadikan hujjah atau tidak.
Hadits shahih harus memenuhi lima syarat yaitu; sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil, diriwayatkan oleh perawi yang dhabit, terhindar dari syadz, terhindar dari ‘illat.
Pengertian hadits shahih secara definitif eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadits dari kalangan al-muttaqaddimin ( sampai abad ke III H ). Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan mengenai kriteria penerimaan hadits yang dapat dipegangi. Diantara pernyataan-pernyataan mereka adalah: “tidak diterima periwayatan suatu hadits kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqat, tidak diterima periwayatan suatu hadits yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadits, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.
Sebagian ulama muta’akhirin ketika menshahihkan sebagian hadits akan mengatakan “shahihul isnad”. Hal ini disebabkan oleh kewira’ian dan kehati-hatian mereka. Namun kita tidak perlu ragu, bahwa yang mereka maksudkan adalah hadits shahih.
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan).
Shahih li dzatihi adalah hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal.
Shahih li ghairihi adalah hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidh dan dhabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
Isnad shahih adalah silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama.
Rijaluhu tsiqat menunjukkan bahwa rawi-rawinya itu dari asal sudah kepercayaan, Adapun Rijaluhu (Ruwatuhu) Muwats-tsaqun itu menunjukkan kepada rawi-rawi yang tidak begitu terang sifat kepercayaannya, sehingga diperselisihkan oleh ulama, tetapi dengan beberapa alasan, dianggap atau dimasukkan mereka dalam golongan rawi-rawi kepercayaan.
B.     Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini tentu masih banyak kekurangan, namun syukur Alhamdulillah penulis ucapkan dengan penuh ta’dzim kepada Allah jalla jalaaluh yang telah memberikan petunjuk-Nya sehingga makalah ini bisa tersusun,  saran dari para pembaca penulis terima dengan terbuka, semoga dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi penulis. Jazakumullah bil khair.














DAFTAR PUSTAKA
Yaqub, Ali Mustafa. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Penerjemah: Abdurrahman Mifdhol. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Rahman, Fathur. 1974. Ikhtisar Mustholahul Hadits. Bandung: Al-Ma’arif
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2009. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Rahman, Fatchur. 1987. Ikhtisar Mustholahul Hadits, Bandung: PT. Al-Ma’arif
Solahudin.M & Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hassan, A. Qadir. 1996. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro
Al-Khathib, M. ‘Ajaj. 1998. Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama


[1] Ali Mustafa Yaqub,  Dasar-dasar Ilmu Hadis (Jakarta:  Penerbit Pustaka Firdaus,  2001), 3.
[2] Fathur Rahman,  Ikhtisar Mustholahul Hadits  (Bandung:  Al-Ma’arif, 1974), 20.
[3] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Mustholahul Hadits (Bandung:  PT. Al-Ma’arif, 1987),  95.
[4] Munzier Suparta, Ilmu Hadis ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),  126.
[5] M. ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998),  278.
[6] M. Solahudin  dan  Agus Suyadi , Ulumul Hadis ( Bandung: CV Pustaka Setia,  2009), 144.
[7] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Mushtholahul Hadits (Bandung:  PT. Al-Ma’arif, 1987), 101.
[8] Syaikh Manna’ Al-Qaththan Penerjemah Abdurrahman Mifdhol , Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar,  2005), 123.
[9] Ibid h. 117
[10] Ibid 119
[11] Munzier Suparta,  Ilmu Hadis (Jakarta:  PT Raja Grafindo Persada, 2002),  45.
[12] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits (Bandung:  CV. Diponegoro, 1996), 66.

0 komentar:

Posting Komentar