Sabtu, 17 Maret 2012

KENYATAAN DAN TEORI KEBENARAN DALAM FILSAFAT PENGETAHUAN


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliyah
Filsafat ilmu yang dibina oleh:
 Dr. Ahidul Asror, M.Ag





 




Oleh:

AHMAD IKHSAN DIMYATI
NIM. 0849110127




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MAMNAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
OKTOBER 2011

KENYATAAN DAN TEORI KEBENARAN
 DALAM FILSAFAT PENGETAHUAN
Oleh: Ahmad Ikhsan Dimyati

I.     PENDAHULUAN
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakikat kebenaran itu.
              Ilmu dicirikan dengan pemakaian sistem dan metode ilmiah yang dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Metode ilmu dapat bersifat sangat teoritis dan apriori dengan membuat unsur-unsur bangunannya sendiri. Metode ilmu juga dapat bersifat empiris dengan unsur-unsur bangunan yang seakan-akan diolah dari lingkungan. Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio politis, humanistis dan religius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-matrealistis. Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Jujun S.Suriasumantri, 1998). Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mecari kebenaran.
Dalam sejarah filsafat, sekurang-kurangnya ada tiga teori yang berupaya untuk menjawab pertanyaan tersebut secara filosofis. Ketiganya adalah: The Correspondence theory of truth (teori kebebenaran sebagai persesuaian), The Coherence Theory of truth (teori kebenaran sebagai keteguhan)The Pragmatic Theory of Truth (teori pragmatis tentang kebenaran).

  II.PEMBAHASAN
Arti Kebenaran
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan  pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama kehidupan manusia. Sebagi nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusian selalu berusaha memeluk suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan objek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusi. Manusia sepanjang sejarah kebudayaanya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu.
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya akan terdorong untuk melaksanakan kebenaran tersebut. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan megalami pertentangan batin, dan konflik psikologis.
TEORI-TEORI KEBENARAN
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidk semua hal itu langsung kit golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah, yang dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan
1.      Kebenaran Korespondensi
Aristoteles  meletakkan dasar teori kebenaran sebagai persesuaian, bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Aristoteles mengatakan “ Hal yang ada sebagai tidak ada, atau hal yang tidak ada sebagai ada adalah salah. Sebaliknya mengatakan bahwa hal yang ada sebagai ada, atau hal yng tidak ada sebagai tidak ada, adalah benar. Dari apa yang dikatakan aristoteles diatas dapat kita fahami bahwa segala apa yang kita katakan adalah sebuah hal yang benar apabila hal tersebut memang benar-benar ada dan didukung dengan sebuah kenyataan
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak (Ihsan, 2010)
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan
2.      Teori Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran koherensi didukung oleh kaum rasioanalis Seperti: Leibniz, Spinoza, Descrates dan Hegel. Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara propisisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada
Menurut para penganut teori ini, mengatakan bahwa suatu pernyataan atau proposisi benar atau salah, adalah mengatakan bahwa proposisi itu berkaitan dan meneguhkan proposisi atau pernyataan yang lain atau tidak. Dengan kata lain, pernyataan itu benar jika pernyataan itu cocok dengan sistem pemikiran yang ada. Maka kebenaran sesunguhnya hanya berkaitan dengan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada. Misalnya: (1) Semua manusia pasti mati; (2) Sokrates adalah manusia; (3) Sokrates pasti mati. Kebenaran (3) hanya merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu (1) Semua manusia pasti mati, dan (2) Sokrates adalah manusia. Dalam arti ini, kebenaran (3) sesungguhnya sudah terkandung dalam kebenaran (1). Oleh karena itu, kebenaran (3) tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyataannya socrates mati atau tidak.
Contoh lain, “Lilin akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. Bagi kaum empiris yang menganut kebenaran sebagai persesuaian, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini, perlu diadakan percobaan dengan memasukkkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih, untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Bagi kaum rasionalis, yang menganut kebenaran sesuai keteguhan, untuk mengetahui kebenaran pernyataan itu, kita cukup mengecek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya. Apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya. Ternyata, pernyataan itu benar karena lilin terbuat dari bahan parafin, dan parafin selalu mencair pada suhu 60 derajat Celcius. Karena arti “mendidih” ada pada suhu 100 derajat Celcius, maka dengan sendirinya lilin akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih. “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih” adalah pernyataan yang benar tanpa perlu dirujuk pada realitas. Pernyataan itu benar karena meneguhkan realitas. Pernyataan itu benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parifin yang selalu mencair pada suhu 60 derajat Celcius, dan juga sejalan dengan pernyataan lain bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius. Dengan kata lain, pernyataan “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih” hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan tadi. Hal ini dapat dijelaskan dengan cara lain. Ada pernyataan, “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. Timbul pertanyaan, “Mengapa?” atau “Bagaimana anda tahu?” Kaum empiris akan mengatakan: “Coba saja, dan buktikan apakah benar atau tidak”. Kaum rasionalis akan menjawab: “Mudah saja. Lilin termasuk bahan parafin, dan parafin selalu mendidih pada suhu 60 derajat Celcius. Air baru mendidih pada suhu 100 derajat Celcius. Maka kesimpulan logisnya: “Lilin pasti dengan sendirinya akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.”
Dari uraian di atas bisa dilihat dengan jelas bahwa, pertama, teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Dalam hal ini berarti, pengetahuan yang benar hanya dideduksikan atau diturunkan sebagai konsekwensi logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar. Konsekuensinya, kebenaran suatu pernyataan atau pengetahuan sudah diandaikan secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada. Bagi kaum rasionalis, “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih” sudah merupakan suatu pengetahuan yang kebenarannya sudah diandaikan dan diketahui secara apriori. Sama halnya juga dengan hukum inflasi atau hukum penawaran dan permintaan. Kedua, dengan demikian teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian sama artinya dengan validasi: memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang diperoleh secara valid (sahih) dari proposisi lain yang telah diterima sebagai benar. Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti. Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentukita tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.
Sebagai perbandingan, kita dapat membuat pembedaan antara kebenaran empiris dan kebenaran logis sebagai berikut:
• Kebenaran Empiris:
1) mementingkan objek
2) menghargai cara kerja induktif dan aposteriori dan
3) lebih mengutamakan pengamatan indera.
• Kebenaran Logis:
1) mementingkan subjek;
2) menghargai cara kerja deduktif dan apriori
3) lebih mengutamakan penalaran akal budi.
           
Pentingnya kedua kebenaran ini sangat ditekankan oleh Imanuel kant. Bagi Kant, baik akal budi maupun panca indera mempunyai peran penting untuk melahirkan pengetahuan manusia. Karena syarat mutlak bagi adanya pengetahuan adalah kebenaran, Kant pun sangat menekankan baik kebenaran logis yang diperoleh melalui penalaran akal budi, maupun kebenaran empiris yang diperoleh dengan bantuan panca indera yang menyodorkan data-data tertentu. Pentingnya kedua kebenaran ini secara saling menunjang terutama agar kita tidak terjebak pada silogisme dan retorika kosong. Karena seringkali suatu pernyataan sangat benar dari segi logis, tetapi sama sekali tidak didukung oleh fakta empiris. Banyak ahli atau pengamat sosial melontarkan pernyataan yang sangat rasional dan sulit terbantahkan secara logis, namun sama sekali tidak benar karena tidak didukung fakta. Inilah yang sering membuat kita terkecoh. Tetapi sebaliknya pernyataan yang didukung oleh fakta, haruslah bisa dijelaskan secara rasional (masuk akal) untuk menunjukkan keterkaitannya yang rasional. Maka, kebenaran ilmiah haruslah memenuhi kedua kriteria: empiris dan rasional.
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliable jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi. Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah truth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3.      Kebenaran Pragmatis
Teori ini berkembang dan dipelopori oleh filsuf-filsuf pragmatis, seperti Charles s. Pierce, William James, and John Dewey. Kebenaran yang ditekankan oleh kaum pragmatis adalah kebenaran yang menyangkut pengetahuan bagaimana (Know How). Suatu ide yang benar adalah ide yang memunginkan subjek berhasil memperbaiki dan menciptakan sesuatu. Dalam hal ini kaum pragmatis menolak kebenaran dari rasionalisme dan empirisme, hanya saja bagi pragatisme suatu kebenaran a-priori hanya benar kalau itu berguna dalam penerapannya yang memungkinkan (Keraf, 2001)
Menurut Pierce, suatu ide tidak mempunyai tujuan untuk dirinya sendiri, karena ide tersebut merupakan sarana untuk bertindak.sebaliknya, suatu tindakan hanya mungkin dilakukan kalau ada kebenaran ide yang menjadi sarana tindakan tersebut. Oleh karena itu, dalam bertindaklah kebenaran ide diverifikasi.
Menurut teori pragmatisme, suatu dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsionali dalam kehidupan manusia, apabila bisa diaplikasikan, kebenaran terbukti manfaat dan fungsinya oleh hasil dan akibat praktisnya (Bakhtiar, 2010)
4.      Kebenaran Religius
Kebenaran adalah sebuah kesan subjek tentang sebuah realita, dan perbandingan antara kesan dengan relita objek. Jika keduanya ada persesuaian dan persamaan maka hal tersebut adalah benar.
Kebenaran religius sendiri tak hanya cukup diukur dengan rasio dan kemauan individu. Merupakan kebenaran yang objektif, universal, berlaku bagi umat manusia, karena kebenaran ini secara antologis dan axiologis bersumber dari tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Dalam agama islam, teori bahwa kebenaran hanyalah dari Allah telah diterangkan dalam kitab sucinya Al-qur’an surat Ali-Imran ayat 60, yaitu:
,ysø9$# `ÏB y7Îi/¢ Ÿxsù `ä3s? z`ÏiB tûïÎŽtIôJßJø9$# ÇÏÉÈ    
    Artinya:
Apa yang telah Kami ceritakan itu, Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu Termasuk orang-orang yang ragu-ragu.

Dengan demikian dapat kita fahami bahwa segala apa yang datang dari tuhan itu adalah kebenaran.
5.      Kebenaran logis berlebihan
Menurut teori ini kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja, sehingga akibatnya ia merupakan pemborosan, sebab yang ingin dibuktikan secara logis derajatnya sama, saling melingkupi, dan isinya sama. Karena setiap proposisi mempunyai informasi yang sama dan semua orang sepakat akan arti yang sama.
 III.  KESIMPULAN
Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r asio, intelektual). Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya. Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu Rajawali pers. 2010. Jakarta
Ihsan, fuad, Filsafat Ilmu. Rineka cipta. 2010. Jakarta
Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Gramedia, cet. 6, 1985. Jakarta.
Sudarminta,J. Epistimologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan. Kanisius. 2002. Yogyakarta


0 komentar:

Posting Komentar