Sabtu, 17 Maret 2012

HADITS DHA’IF



Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Hadits dibina oleh : Dr. Kasman A.Rohim




Oleh:

Ida Rahmawati
Email : irahmah59@yahoo.com



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
NOVEMBER 2012
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam pembuatan hadits dha’if supaya kita mengerti bagaimana pengertian hadits dha’if. Disini diterangkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah, disebabkan karna gugurnya rawi, cacat pada rawi dan matannya, dalam pembahasan ini kita dapat mengetahui bagaimana hadits yang dha’if, maudhu atau hadits yang shahih.
Hadits dha’if ini banyak macam ragamnya oleh karena itu kita harus lebih memahami tentang hadits dha’ifnya. Kemudian tentang kehujahan hadits dha’if ini dapat diamalkan secara mutlak yang berkaitan dengan masalah halal dan haram, kewajiban dengan syarat tidak ada hadits lain, kemudian dipandang baik mengamalkan hal-hal yang dianjurkan dan neninggalkan hal-hal yang dilarang.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi banyak juga turut memberi kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagi sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para ulama, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak cukup diri hanya pada terpenuhi syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang.
Oleh karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraikan secara ringkas pembahasa ilmu hadits seputar  Hadits Dha’if dan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan Hadits Dha’if.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Dha’if
Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz: yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah tentang benarnya hadits Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.[1]
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
Artinya: “Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.[2]

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.

B.  Tingkatan-Tingkatan  Hadits Dha’if
Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits, digolongkan menjadi hadits dha’if dikarenakan dua hal , yaitu: gugurnya rawi dalam sanadnya dan adanya cacat pada rawi atau matan.
  1. Hadits Dha’if karna Gugurnya Rawi
a. Hadits Mursal
Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti “Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminology ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw. Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw bersabda…..”
Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, bahwasnya Rasulullah Saw bersabda:
ان سدة الحر من فيح جهنم
Artinya: “Sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari uap neraka Jahannam”
Para ulama’ memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksudkan dengan rawi di akhir sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi. hadits mursal adalah hadits yang dalm sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah SAW. Seperti contoh:
قال ؤسول الله صلى الله عليه وسلم : بيننا وبين المنافقين شهودالعشاء والصبح لايستطيعون . ( رواه مالك )
Artinya: Rasulullah bersabda, ”Antara kita dengan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya’ dan shubuh ; mereka tidak sanggup menghadirinya” ( HR. Malik ).
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik, dari abdurrahman,dari harmalah, dan dari said bin mutsayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad diatas.
Kebanyakan ulama memandang hadits mursal sebagai hadits dha’if dan tidak diterima sebagai hujjah, tetapi sebagian kecil ulama, termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah bila rawinya adil.
b. Hadits Munqati      
Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian para ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang dimana didalam sanadnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi, misalnya perkataan seorang rawi, “dari seorang laki-laki”. Sedang menurut para ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-rawi sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa tempat, namun rawi yang gugur itu tetap satu dengan syarat bukan pada permulaan sanad.[3]  Rasulullah SAW bersabda:
كان رسول الله صلىالله عليه وسلم اذا ذخل المسجد قال : بسم الله والسلام على  رسول الله اللهم اغفرلى ذنوبى وفتح لى ابواب رحمتك . روه ابن ماجه
Artinya: Rasulullah SAW bersabda, ”Bila masuk kedalam masjid, membaca : dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasululla; Ya Allah, ampunilah segala dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatmu” ( HR. Ibnu Majah ).

c. Hadits Mudal
Hadits mudal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya, contohnya: “telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
للملةك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك)
Artinya: “Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara baik”. (HR. Malik).
Imam Malik dalam kitabnya itu, tidak menyebut dua orang rawi yang  beriringan antara dia dengan Abu Hurairah.
d. Hadits Muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad. Contoh: Bukhari berkata, kala Malik, dari Zuhri,dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
لا تفا ضلوابين الانبياء . (رواه البخارى)
Artinya: “Jangan lah kamu melebihkan sbagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari)[4]
Menurut kesimpulan diatas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dha’if karena gugurnya rawi artinya tidak adanya satu, dua, atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan, pertengahan, maupun diakhir sanad hadits ini terbagi menjadiempat, yaitu: hadits mursal (melepaskan), hadits muqati’(terputus), hadits mudal (yang sulit dipahami), dan hadits muallaq (tergantung).

2. Hadits Dha’if karna Cacat pada Rawi atau Matan
Hadits yang bercacat rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadits dha’if. Banyak macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau menimpa matan, di antaranya pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah merupakan cacat- cacat, yang masing-masing dapat menghilangkan sifat dhabit rawi. Banyak keliru, banyak faham, buruk hafalan, lalu mengusahakan hafalan dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya, merupakan cacat-cacat, yang masing-masingnya menghilangkan sifat dhabit rawi. Adapun cacat matan, misalnya terdapat sisipan di tengah-tengah lafadh hadits atau lafadh hadits itu diputar balikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dengan maksud lafadh yang sebenarnya.
Diantara hadits dha’if karena cacat pada rawi atau matannya adalah hadits maudu’, hadits matruk atau hadits matruh, hadits munkar, hadits muallal, hadits mudraj, hadits maqlub, dan hadits syad.
a. Hadits Maudu’
Dari segi bahasa, Hadits maudu’ berarti palsu atau hadits yang dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan hadits maudu’ adalah hadits yang bukan hadits Rasulullah SAW, tetapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau keliru tanpa sengaja. contoh:
لايدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء
Artinya: “Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
Golongan pembuat hadits maudu’ antara lain musuh-musuh islam (terutama kaum yahudi dan kaum zindiq), orang-orang yang sangat fanatik (pada golongan politiknya, madhabnya, atau kebangsaannya), tukang –tukang dongeng, orang-orang yang suka mengambil muka pada penguasa, dan mereka yang ingin bermegah diri dengan meriwayatkan hadits yang tidak dimilikiorang lain.
Hadits maudu’ merupakan seburuk-buruk hadits dha’if . Siapa yang telah mengetahui kepalsuan suatu hadits, maka ia tidak boleh meriwayatkannya dengan menyandarkan kepada Rasulullah SAW, kecuali dengan maksud untuk menjelaskan kepalsuannya. Rasulullah SAW memberikan peringatan sebagai berikut:
من كذب علي متعمدا فليتبواء مقعده من النار. (رواه البخارى ومسلم و غيرهما)
Artinya:”Barang siapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”.  (HR. Bukhari Muslim dan lain-lain)
contoh hadits maudu’:
1. Hadits yang dibuat oleh abdur Rahman bin Zadi bin Aslam, ia katakan bahwa hadits itu diterma dari ayahnya, dari kakaknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW, yang berbunyi sebagai berikut:
ان سفينة نوح طافت با لبيت سبعا وصلت عند المقام ركعتين.
Artinya:  ”Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali dan shalat di makam Ibrahim dua rakaat”.
2. Hadits berikut;
الا مناء ثلاثة انا وجبريل ومعاوية
Artinya:”Orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu aku (Muhammad), Jibril dan mu’awiyah”.

b. Hadits Matruk atau Hadits Matruh
Dari segi bahasa, hadits matruk berarti yang ditinggalkan dan hadits matruh berarti yang dibuang. Para ulama memberikan batasan pada hadits matruk atau hadits matruh adalah hadits yng diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik yng berkenaan dengan hadits atau mengenai urusan lain), atau tertuduh pernah mengerjakan maksiat, atau lalai, atau banyak fahamnya. Contoh :
قا ل رسول الله صلىالله عليه وسلم : لولا النساء لعبدالله حقا.
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, ”Sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah disembah (ditaati) dengan susngguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan yaqub bin Sufyan bin Asyim, dengan sanad terdiri serentetan rawi: Muhammad bin Imran, Isa bin Ziyad, Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin Musayyab, dan Umar bin Khattab.  Yang  menurut penilayan seluruh ahli hadits terdapat catatan pribadinya sebagai seorang rawi yang dha’if, contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan.

c. Hadis Munkar
Had`its munkar, dari segi bahasa, berarti hadits yang diingkari atau hadits yang tidak dikenal. Para ulama memberikan batasan hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if atau yang lemah yang menyalahi (berlawanan dengan) atau berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:
من اقام الصلاة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة. (رواه ابن ابى حاتم)
Artinya: “Barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”. )HR. Ibnu Abi Hatim)
d. Hadits Muallal
Hadits muallal, dari segi bahasa, berarti hadits yang yang terkena illat (penyakit atau hadits yang terkena bencana), menurut istilah para ahli hadits muallal ialah hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondosif berakibat cacatnya hadits itu, namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak tampak. Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم يتفرفا
Artinya:“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah”

e. Hadits Mudraj
Hadits mudraj, dari segi bahasa adalah hadits yang dimasuki sisipan, dari segi istilah hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan yang sebenarnya bukan bagian hadits itu.
Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم: انا زعيم، والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل الله يبيت في ريض الجنة (رواه النسائ)
Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat dan berjuang di jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surge.” (HR. Nasai)
hadits tersebut diriwayatkan oleh Nasai, dan disebut hadits mudraj, karena ungkapan والزعيم الحميل adalah sisipan, tidak berasal dari sabda Rasulullah SAW.

f. Hadits Maqlub
Dari segi bahasa, hadits maqlub, berarti hadits yang diputar balik. Dari segi istilah hadits maqlub adalah hadits yang terjadi pemutar balikan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan lain.
Apabila jika terdapat didalamnya terdapat perubahan, baik dalam sanad maupun matannya, baik yang disebabkan pergantian lafaz lain atau disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:
إذا سجد احدكم فلا يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته
Artinya:“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti menderumnya seekor unta, melinkan hendaknya meletakkan kedua tanggannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan mengatakannya hadits ini gharib)
Bila hadits sebenarnya diriwayatkan oleh Kaab bin Murrah (misalnya ), tetapi Kaab bin Murrah itu dibalik menjadi Murrah bin Kaab, maka hadits itu disebut hadits maqlub.
Contoh maqlub pada matannya:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم: اذا امرتكم بشىء فاءتوه واذ نهيتكم عن شيء فجتنبوه ما استطعتم . (رواه الطبرانى)
Artinya :“ Rasulullah bersabda, ” Apabila aku menyuruh  kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia: apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah dia sesuai dengan kesanggupan kamu”. (HR. Tabrani)
g. Hadits Syaz
Dari segi bahasa, hadits syaz berarti hadits yang ganjil. Para ulama memberi batasan hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : يوم عرفة وايام التشريق ايام اكل وشرب .
 (رواه موسى بن على)
Artinya: “Rasulullah bersabda, “Hari arafah dan hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”[5](HR. Musa bin Ali)
Hadits yang diriwayatkan oleh Musa bin Ali Kubah dengan sanad dari serentetan rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain yang tidak dijumpai ungkapan يوم عرفة keganjilan hadits diatas terletak pada adanya ungkapan tersebut.
Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan matan atau kedua-duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh, yaitu: hadits maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau hadits matruh (yang dibuang), hadits munkar(yang diingkari), hadits muallal (terkena illat), hadits mudras (yang dimasuki sisipan), hadits maqlub (yang diputar balik), dan hadits syaz (yang ganjil).

C. Status Kehujahan
Cacat-cacat hadits dha’if berbeda-beda, baik macamnya maupun berat ringannya. Oleh karena itu, tingkatan atau martabat hadits-hadits dha’if tersebut juga berbeda. Bila suatu hadits dha’if dimungkinkan bahwa rawinya benar-benar hafal dan menyampaikannya dengan cara benar, maka hal ini telah mengandung perbedaan pendapat yang serius di kalangan ulma sehubungan dengan pengalaman.
Pendapat pertama; hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban, dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampai kan oleh beberapa imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan sebagainya.
Pendapat yang kedua; dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang.
Pendapat ketiga; hadits dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.[6]

D. Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha’if
1. Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (579 H)
2. Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz Jalaludin Al-Suyuti (911 H)
3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani (963 H)
4. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ( 751 H )
5. Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya Ali Al-Qari ( 1014 H )[7]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah adalah yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan.
Pembagian hadits dha’if ada dua bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan cacat pada rawi dan matan.
Status kehujjahan sebuah hadits dha’if dipandang hujjah apabila dapat diamalkan secara mutlak, dipandang baik mengamalkanya dan hadits dha’if yang sama sekali tidak dapat di amalkan.






DAFTAR PUSTAKA

Anwar Br. Moh, Ilmu Mustalah Hadits, Surabaya: Al-Iklas, 1981.
As- Shalih. Subtu, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.1997.
Alwi Al-Maliki. Muhammad, Ilmu Usul Hadits, Yugyakarta; Pustaka pelajar. 2006.
Ahmad. Muhammad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung; CV. Pustaka Setia. 2006.
Ahmad, H. Muhammad dkk. Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka setia,2000).




[1] Moh. Anwar Br, Ilmu Mustalahul Hadits, (Surabaya: Al-Iklas, 1981), h. 93.
[2] Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung, CV. Pustaka Setia. 2000),h. 112.
[3] Muhammad Alwi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 92,100.
[4] H. Muhammad Ahmad, dkk. Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka setia,2000),h. 27.
[5] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit, h. 141, 139, 112, 121, 126, 114.
[6] Subhi As-Shalih,Membahas Ilmu-ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997),h. 186.
[7] H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),h. 208.

0 komentar:

Posting Komentar