Sabtu, 17 Maret 2012

PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT



Dipresentasikan untuk memenuhi  Tugas
Mata Kuliah
PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN PENDIDIKAN ISLAM 
Dosen pengampu :
  Dr.   Syamsun Niam, M.Ag.




Oleh :
MOH. SEWI
1849110138


POGRAM STUDI PENDIDIKAN  ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
STAIN JEMBER
2011




PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT

  1. PENDAHULUAN
Secara alamiah manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meningal, mengalami tahap demi tahap. Manusia mampu mencapai kesempurnaan/kematangan hidup melalui suatu proses. Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohani dan jasmani yang harus berkembang secara bertahap. Oleh karena suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan atau pertumbuhan, baru dapat di capai jika melalui suatu proses kearah tujuan akhir perkembangannya/ pertubuhannya. Pendidikan Islam sebagai proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaan sesuai dengan kemampuan dasar ( Fitrah ). (Akh. Muzakki,2011 : 1)
Berbicara tentang pendidikan Islam, agaknya sangat idealis dan utopis  dan bila hanya berkutat pada persoalan fundasional filosofis, karena kegiatan pendidikan  sangat concern terhadap persoalan-persoalan operasional.  Diantara kelemahan dari kajian pendidikan Islam yang  selama ini tertulis dalam literature-literatur kependidikan Islam adalah mereka kaya konsep fundasional atau kajian teoritis, tetapi miskin dimensi operasionalatau praktiknya. Atau sebaliknya kaya praktiknya/operasional, tetapi lepas dari fundasional atau dimensi teoritiknya. (Muhaimin, 2004 :V)
Cita-cita pendidikan Islam dalam membangun manusia diarahkan pada pendidikan keseimbangan antara antara rohani dan jasmani, mencakup dimensi yang luas, bersentuhan langsung dengan kawasan duniawi, merembes ke kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak pernah menganakemaskan  kepentingan duniawi dengan menganaktirikan kepentingan akhirat. Pendidikan Islam lebih menekankan  pada keseimbangan dan keserasian perkembangan hidup manusia untuk kepentingan di dunia dan akhirat. ( Arifin. 1996 : 14 )
 Hakekat tanggung jawab pendidikan adalah beban yang dipikul seseorang, atau kelompok mengenai pendidikan  akibat sesuatu yang dilakukan, baik karena konsep atau gagasan-gagasan, perkataan dan perbuatannya ataupun karena tidak berbuat apa-apa. Pendidikan Islam sebenarnya sangat konprehensif guna menjamin hasil pendidikan islam yang berkualitas karena pendidikan dalam dalam pandangan islam bukan hanya realisasi  dari tanggung jawab kemanusiaan tetapi merupakan tanggung jawab keagamaan. pendidikan Islam merupakan perwujudan atas pendidikan keluarga, masyarakat dan pemerintah secara sinergis. Perwujudan tanggung jawab masing-masing tanggung jawab lembaga pendidikan Islam dapat berupa pembiayaan, tenaga, bahan ajar, gagasan, informasi, penciptaan pendidikan yang kondusif, dan prasarana pendidikan. Setiap yang terlibat dalam pendidikan  harus mempertanggung jawabkan beban yang dipikulnya sekecil apapun baik secara vertical (habl min Allah) maupun horizontal (habl min al-nas). Maka warga pendidikan adalah penting dan tidak ada satupun yang terabaikan. Guru, murid, orang tua, pemerintah, anggota masyarakat dan apapun sebutannya, semua mempunyai peranan dalam mendidik kepribadian bangsa khususnya pembelajar yang sedang menuntut ilmu sekecil apapun. Pendidikan keluarga dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebut sebagi pendidikan informal. Dalam Pasal 27 disebutkan bahwa kegiatan pendidikan informal yang dilakukan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan secara mandiri. (Maragustam,  2010:118)

  1. Pembahasan
Definisi Pendidikan Islam
Istilah  Pendidikan  dalam  konteks  islam  lebih  banyak  dikenal   dengan  istilah           "al-tarbiyah, al-ta'lim, al-ta'dib dan al-riyadloh". Setiap istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, walaupun dalam hal-hal tertentu, istilah –istilah tersebut mempunyai kesamaan makna.
Muhaimin dalam bukunya paradikma pendidikan islam mengungkapkan pendapat Langgulung (1997) bahwa Pendidikan Islam itu, setidak-tidaknya mencakup dalam delapan pengertian yaitu al-tarbiyah ad-diniyah (pendidikan keagamaan), ta'lim al-din (pengajaran agama), ta'lim aldiniy ( Pengajaran keagamaan) al-ta'lim al-islamy (Pengajaran keislaman) tarbiyah al-muslimin ( pendidikan orang-orang islam),         al-tarbiyah al-islam (Pendidikan dalam islam) al-tarbiyah al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang islam) , dan al-tarbiyah al-Islamiyah (pendidikan Islam). . (Muhaimin, 2004 :36) 
Para ahli pendidikan islam mencoba menfomulasikan hakekat pendidikan islam sebagai berikut :
Ahmad D. Marimba: Pendidkan Islam Adalah bimbingan Jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. (Nurhayati, 2005: 9)
Sedangkan menurut Abdur Rahman Nahrawi :
التــربية الاســلام هي التنطـيم المنفسي والاجتماعي الدي يؤدي الى اعتنـــاق الاســلام و تطبيقة كليــا في حياة الفرد والجمــاعة.
Artinya : Pendidikan Islam ialah pengaturan pribadi dan masyarakat yang karenanya dapatlah memeluk Islam scara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.  
Dari beberapa pendapat di atas para ahli ternyata berbeda pendapat dalam merumuskan Pendidikan Islam, Namun dari beberapa pendapat di atas  dapat di tarik kesimpulan bahwa : Pendidikan Islam ialah bimbingan  yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki  kepribadian muslim.

Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Masyarakat
Paling tidak ada tiga dimensi  tanggungjawab yaitu (1) tanggungjawab pada pengembangan diri, (2) Tanggungjawab pada keluarga, (3) dan tanggung jawab kepada masyarakat. Dimensi tanggung jawab kepada pengembangan diri masing-masing individu  dan dimensi tanggung jawab kepada keluarga bardasar kepada QS. At-Tahrim [66]:6,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ 
 Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

 Sedangkan tanggung jawab kepada masyarakat berdasar pada QS. Ali Imron[3]:104.
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ 
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar  merekalah orang-orang yang beruntung.
 Pendidikan merupakan sebuah elmen kehidupan  dan basis kesempurnaan personal, sebab ia memainkan peranan dalam penyesuaian, pengembangan, mempertahankan fitrah positif, dan pendewasaan individu-individu secara optimal baik pendewasaan fisik maupun mentalnya.
Manusia lahir tidak pernah ikut serta menentukan dari rahim siapa ia lahir, dari lingkungan mana ia berasal, dari elemen-elemen hereditas siapa ia harus warisi, seberapa besar kapasitas potensi-potensi yang ia miliki dan kapan ia akan lahir di dunia. Semua itu terjadi tanpa diminta persetujuan apalagi di ajak berkompromi untuk memilih dari berbagai situasi tersebut. Semua terjadi atas kehendak Tuhan dan karenanya setiap orang harus menerimanya dengan penuh suka cita.
Begitu manusia lahir sudah butuh pertolongan, tanpa pertolongan lingkungan sosial terutama ibu yang melahirkan tentu ia akan mati. Karena sang bayi belum bisa menolong dirinya, dan belum bisa meminta batuan orang lain tentang bagaimana mempertahankan hidup, makan dan minum dan lain sebagainya.  Dalam posisi ini, ia butuh pendidikan. Penekanan pendidikan ini terdapat dalam UU Sisdiknas 2003 bab 1 pasal 1 ayat 1 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki spritual keagamaan, pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan dibutuhkan oleh individu-individu masyarakat sebab individu-individu yang baru lahir tidak dapat dipandang sebagai manusia sosial yang matang karena tidak mampu berkumpul dan menyesuaiakan diri didalam masyarakat. Pendidikan dapat membantu mengembangkan serta mendewasakan individu-individu dan mengaktualkan potensi-potensi mereka, persiapan-persiapan, serta memaksimalkan keahlian-keahlian . Pendidikan merupakan kebutuhan sosial dan kebutuhan individu. (Maragustam,  2010:120)
Islam merupakan agama ilmu dan agama akal. Tidak agama bagi setiap individu  jika akalnya tidak berfungsi. Akal salah satu sarana mendapatkan ilmu. Islam lestari tiada lain karena ilmu. Tidak sah amal perbuatan seseorang dalam perspektif islam  jika tidak disertai  dengan ilmu pengetahuan. Bahkan perbedaan manusia menjadi kholifah di bumi dan menjadi hamba tuhan tiada lain karena manusia mempunyai potensi-potensi dan kesiapan-kesiapan untuk berkembang, dan berkemampuan  untuk berilmu pengetahuan. Untuk itu manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan. Maka belajar merupakan kewajiban baik kewajiban karena tanggungjawab keagamaan maupun tanggung jawab kemanusiaan dan kealaman. Didalam Al-Qur'an tidak terdapat suatu statemen  yang melumpuhkan akal  dan tidak ada pula sesuatu yang merintangi potensi-potensi manusia dan kesiapan-kesiapannya untuk berkembang dan memperoleh ilmu seberapa dalam dan seberapa luasnya. (Ibid : 121)
  Pendidikan keluarga termasuk pendidikan informal dan bentuk kegiatannya ialah belajar secara mandiri. Dalam Islam tanggung jawab pendidikan bermula dari keluarga yakni ayah, kemudian ibu, dan anak-anaknya. Jika mereka mampu membentuk kepribadian anak sebagai makhluk individu terutama pada pengembangan faktor indogen yakni kemampuan-kemampuan atau potensi-potensi menjadi nyata, maka tanggung jawab pendidikan dibebankan kepada diluar keluarga seperti orang-orang yang mampu, pemerintah, dan lain sebagainya. Jika tidak demikian maka fungsi manusia sebagai kholifah dan hamba Tuhan tidak akan berjalan dengan baik.
Keluarga merupakan kelembagaan masyarakat yang memegang peranan kunci dalam proses pendidikan. Jadi ayah, ibu dan seluruh anggota keluarga adalah demikian penting dalam proses pembentukan dan pengembangan pribadi. Keluarga wajib berbuat sebagai ajang yang diperlukan sekolah dalam hal melanjutkan kematangan  sosiologi kognitif. Demikian juga keluarga dapat berperan sebagai sarana pengembangan kawasan afektif dan psikomotor. Dalam keluarga diharapkan berlangsungnya pendidikan yang berfungsi pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk keagamaan.( Imam Barnadib, 1983 : 130)
Ada beberapa alasan kenapa pendidikan keluarga ini penting. Pertama  dasar-dasar kelakuan dan kebiasaan peserta didik tertanam sejak didalam keluarga, juga sikap hidup serta kebiasaan-kebiasaannya yang baik dakam keluarga ini akan menjadi karakter anak setelah ia menjadi dewasa. Kedua, anak menyerap adat istiadat dan prilaku kedua orang tuanya dengan cara bertaklid dengan cara meniru  atau mengikuti dengan tidak tahu apa dasar, bukti dan alasannya,  disertai ras puas. Ketiga  dalam pendidikan keluarga berjalan secara natural, alami dan tidak dibuat-buat. Kehidupan penuh dengan keahlian, akan terlihat jelas sifat-sifat anak yang asli yang dapat diamati orang tua terus menerus dan karenanya orang tua dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan konteksnya  dan sesuai dengan karakter anak-anaknya. Keempat dalam pendidikan keluarga berlangsung dengan penuh cinta kasih dan keikhlasan. Orang tua tidak pernah terlintas dalam pikirannya tentang gaji dan penghargaan dalam mendidik anak-anaknya. (Maragustam,  2010:124)

Pendidikan Islam Di Sekolah
Lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan pendidikan dan pengajaran  dengan sengaja, teratur dan terencana adalah  Sekolah. Guru-guru yang melaksanakan tugas pembinaan, pendidikan dan pengajaran tersebut adalah orang-orang yang telah dibekali dengan pengetahuan tentang anak didik, dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas kependidikan. (Zakiah Darajat, 1995: 77)
Dalam  UU RI No.2 Tahun 1089 tentang sistem pendidikan Nasional disebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan Islam dapat dilaksanakan melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur Pendidikan sekolah adalah jalur pendidikan yang diselenggarakan disekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambunan; Sedang jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Mengenai Jalur pendidikan ini, lebih jelas disebutkan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas  yakni jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan  informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pada Pasal 6 disebutkan bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. (Maragustam,  2010:121)
Belakangan ini, muncul keresahan tentang pendidikan Nasional yang merupakan wacana yang sedang hangat dibicarakan. Slogan demi slogan  yang dikumandangkan mencoba mengacu pada cita-cita untuk membangun "Indonesia Baru". Upaya besar tersebut tercermin dalam konsep masyarakat madani, saat ini hanya tinggal hipotesis. Sebab berbagai persoalan yang menerpa –  bahkan sulit terpecahkan  bangsa ini, seakan menghapus cita-cita luhur bangsa. Seakan bangsa yang memiliki dasar pemersatu berupa "Pancasila Sakti" tak mampu memainkan peranannya. Harus diakui persoalan ini merupakan gambaran umum kegagalan pendidikan Nasional, khususnya pendidikan Islam di Indonesia saat ini. Kegagalan ini merupakan konsekuensi dari kesalahan dalam penetapan kebijakan pendidikan. Rendahnya alokasi dana bagi pendidikan yang hanya 5,6% dari jumlah total anggaran tahun 2000/2001 merupakan salah satu penyebab rendahnya "keseriusan" dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas. Rendanya alokasi dana pendidikan tahun 2000/2001 berarti mengalami kemerosota tajam dibanding dengan 7,1% untuk tahun 1999/2000.
Kurikulum-khususnya kurikulum pendidikan Islam yang ditawarkan terkesan upaya bongkar pasang, statis, korang produktif dan kehilangan elan vital keislamannya. Bongkar pasang dimaksud karena kurikulum dibangun dalam kerangka trial and eror dan tidak berangkat dari pendekata filosofis-filosofis yang obyektif. Ketika format kurikulum berbasis kompetensi (KBK)  diperkenalkan dan dalam proses sosialisasi , dipertengahan tahun 2006 format tersebut kemudian dicabut karena dianggap tidak efektif. Penggantinya adalah KTSP. Ketika pendidik sedang bingung dalam memahami dalam format yang baru, enteh format kurikulum apalagi yang akan ditawarkan. Pertanyaannya, bagaimana proses memformat kurikulum dilakukan para ahli dan kapan pendidikan di Indonesiaakan tercapai. Statis dimaksudkan karena muatan kurikulum terkesan mengulang materi pelajaran pada tingkat pendidikan sebelumnya. Kurang Progresif Dimaksudkan  Karena Rumusannya Hanya Berkisar Hanya Sekedar Menjawab  Berbagai Persoalan "Kemarin" Dan "Kekinian" Yang Terjadi Dan belum mampu memprediksi persoalan 5 atau 10 tahun yang akan datang, sebagaimana kurikulum pendidikan yang ditawarkan  di negara-negara maju. (Samsul Nizar, 2009: vii)
Selanjutnya Samsul Nizar menuturkan: Keterpurukan Semakin diperparah dengan kendornya sistem yang dikembangkan. Kita seakan menjadai bangsa  yang tidak lagi menggunakan selogan  "Pengalaman adalah guru yang terbaik". Kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam dunia pendidikan seakan kurang banyak mendapat perhatian serius. Ketika upaya untuk membangun Indonesia baru, dunia pendidikan  kita diganggu oleh bocornya soal-soal Ebtanas. Padahal, persoalan ini terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Tilaar menyatakan seperti yang di kutip Samsul Nizar :  bahwa pendidikan nasional dewasa ini diharapkan pada empat krisis pokok, yaitu: berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Lebih jauh dikemukakan  bahwa selanjutnya ada delapan masalah pokok sistem pendidikan nasional: (1) menurunnya moral dan akhlak peserta didik (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pemerataan kualitas pendidikan (3) rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan; (4) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan nasional; (5) masih rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan dan pelatihan; (6) Kelembagaan pendidikan dan pelatihan; (7) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional; dan (8) sumber daya yang belum profesional. (Samsul Nizar, 2009: ix)
Didalam GBPP PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar dalam menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami , menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dalam memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan Nasional. (Muhaimin, 2004 :76) 
   Usaha pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah diharapkan agar mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial sehingga pendidikan agama diharapkan jangan sampai : (1)  menimbulkan semangat fanatisme ; (2) menumbuhkan intoleran dikalangan peserta didik dan masyarakat indonesia; dan (3) memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional (Mentri Agama RI, 1996). Wal hasil, pendidikan agama islam di harapkan mampu menciptakan  Ukhuwah Islamiyah dalam arti luas,  yaitu  ukhuwah fi al-ubudiyah, ukhuwah fi al-insaniyah, ukhuwah fi al-wathoniyah wa al-nasab, ukhuwah fi din al-islam. ( Ibid: 82)

Dalam buku bertajuk ’How Communities Build Stronger Schools’, Anne Wescott dan Jean L. Konzal menggambarkan pola hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam tiga paradigma yang mengalami perubahan dan perkembangan. Ketiga paradigma hubungan tripusat pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Paradigma lama
Orang tua dalam keluarga, warga sekolah, dan warga masyarakat memiliki hubungan sesuai dengan kepentingan masing-masing dalam urusan pendidikan. Dalam paradigma lama ini, hubungan tripusat pendidikan iniberlangsung sebagai satuan pranata sosial yang berdiri sendiri dan berada dalamposisi yang terpisah-pisah. Menurut Anne Wescott dan Jean L. Konzal, paradigmaditandai dengan adanya beberapa karakteristik sebagai berikut: (1)menitikberatkan pada kecakapan akademik dan pengetahuan, (2) hubungan sekolah terkontrol, komunikasi satu arah, (3) birokratis, impersonal, dan terjadikomunikasi satu arah, (4) saling melindungi diri, defensif, (5) hirarkis, tidaksemua orang dipandang sama, (6) perbedaan kultural dan sosial tidakmendapatkan perhatian secara wajar, (7) beberapa keluarga dan siswatermarjinalisasi, (8) orangtua dipandang sebagai sumber masalah dan kritik, dan(9) masyarakat dipandang sebagai orang lain, kecuali diperlukan.Guru dan warga sekolah dalam paradigma lama ini pada umumnya masih berkutatpada pertanyaan, ”What can parents, community members, and organizations dofor us?” atau “Apa yang orangtua, warga masyarakat, dan organisasi masyarakatdapat lakukan untuk kami (sekolah)?” Jawaban yang ingin mereka dapatkan daripihak orangtua dan masyarakat hanya berupa uang transpor atau baju seragamatau honorarium kelebihan jam mengajar. Jadi, guru dan warga sekolah masihterfokus pada dukungan finansial dari keluarga dan masyarakat. Dengandemikian, keluarga dan warga masyarakat pun sudah merasa telah memberikanperan utamanya, jika ia telah memberikan dukungan finansial kepada sekolah.Masalah proses belajar mengajar, urusan belajar anak di rumah, pembinaan moralpeserta didik, seluruhnya telah diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Orangtuadan masyarakat hanya ingin tahu bahwa anaknya lulus dengan nilai yang tinggi.Kalau kemudian ada anak yang perilakunya tidak baik, atau tidak dapat mencapaistandar kelulusan, orangtua dan masyarakat akan segera mengembalikan tanggungjawab semua itu kepada sekolah. Paradigma tersebut digambarkan sebagai berikut: PARADIGMA LAMA

2. Paradigma Transisional
Dalam paradigma transisional, hubungan antara sekolah dan orangtua telah berkembang sebagai hubungan kerja sama yang sudah interaktif. Pola hubungandalam paradigma transisional ini memiliki beberapa karakteristik yang agakberbeda dengan karakteristik paradigma lama, antara lain adalah: (1)menitikberatkan pada penguasaan akademik dan perkembangan individual siswa,(2) hubungan sekolah diarahkan, (3) kurang birokratis, lebih manusiawi, dantelah terjadi hubungan dua arah, (4) proaktif, (5) lebih inklusif, (6) perbedaankultural dan sosial sudah memperoleh perhatian, (7) kerja sama dengan orangtua sudah terbentuk secara terbatas, (8) menjalin hubungan dengan masyarakat jika
bermanfaat kepada sekolah, dan (9) guru mulai mengadakan penelitian tentang kegiatan belajar mengajar tetapi belum melibatkan orangtua dalam proses ini. Beberapa karakteristik paradigma lama sudah mulai mengalami perubahan, meski belum secara total. Sebagai contoh, perhatian orangtua dan masyarakat terhadap anak-anak dari keluarga tidak mampu sudah mulai tumbuh, misalnya dengan adanya program beasiswa atau program subsidi silang. Dengan demikian, lembaga pendidikan sekolah sudah tidak terlalu birokratis lagi. Sekolah sudah menjadilebih inklusif. Dalam konteks paradigma transisional, sekolah dan keluarga menanyakan kepada diri dan masayakat ”how can parents, community members, organizations helps us do our job better” atau “bagaimana orangtua, warga masyarakat, organisasi social dapat membantu kita untuk melaksanakan tugas secara lebih baik”. Paradigma tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: PARADIGMA TRANSISIONAL.

3. Paradigma Baru
Karatkteristik hubungan tripusat pendidikan dalam paradigma baru ini telah benar-benar berubah secara total, yang berbeda dengan paradigma sebelumnya, yakni: (1) menitikberatkan perhatian pada siswa secara keseluruhan, baik aspek akademis maupun perkembangan individualnya, (2) tidak ada batas hubungan antar keluarga, sekolah, dan masyarakat, (3) terjadi budaya menemukan, belajar, melindungi, dan membimbing; guru dan orangtua melaksanakan penelitian tindakan bersama-sama, (4) keikutsertaan secara personal, (5) tidak hirarkis, sepenuhnya inklusif, setiap orang merasa dirangkul, (6) perbedaan budaya dan sosial dihargai dan dipelihara dengan baik, (7) terdapat kerjasama antara orangtua dan masyarakat, (8) orangtua dan warga masyarakat sebagai patner, (9) menemukan manfaat bersama sebagai tujuan, (10) pilihan banyak dan cara untuk mencapainya juga banyak.
Dalam paradigma baru ini, semua orang (orangtua dalam keluarga, kepala sekolah  dan guru di sekolah, serta warga masyarakat) secara bersama-sama mengajukan pertanyaan tentang ”what can all of us together do to educate all children well” atau tentang ”apa yang kita dapat kerjakan bersama untuk mendidik semua anak dengan baik”. Dalam hal ini, pertanyaan tentang bagaimana cara mendidik peserta didik itu tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab profesional para pendidik dan kepala sekolah dan tenaga administrasi di sekolah saja, melainkan telah melibatkan peran serta secara sinergis dari semua stakeholder pendidikan. Dengan kata lain, pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) tidak lagi pernah menyebut ”murid saya’, atau ”siswa saya”, atau ”siswa-siswa itu” atau ”anak-anak saya”, melainkan dengan sebutan kolektif ”anak-anak kita”.
Dengan demikian, paradigma baru tentang hubungan tripusat pendidikan ini telah memandang lembaga pendidikan sekolah sebagai milik bersama. Dengan kata lain, tidak ada lagi ”single fighter” dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Paradigma tersebut digambarkan sebagai berikut: PARADIGMA BARU
Berdasarkan kajian teoritis-ilmiah tersebut di atas, paradigma hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat di Indonesia masih dalam paradigma lama dan mulai berubah ke paradigma transisional. Beberapa indikasi utama dapat disebutkan sebagai berikut:
1)  Keluarga, sekolah, dan masyarakat masih memandang hasil belajar siswa lebih pada sisi kecakapan akademik dan pengetahuan. Nuansa akademik masih lekat dalam pandangan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keberhasilan siswa dalam pendidikan lebih diukur dari aspek akademis semata-mata. Orangtua, sekolah, dan masyarakat merasa sudah melaksanakan tugas pendidikan jika anak-anak telah berhasil menggondol juara kelas atau menduduki peringat satu dalam aspek akademis. Aspek-aspek yang berkenaan dengan perkembangan kepribadian anak, disiplin, moralitas, dan berbagai macam kemampuan nonakademisnya seharusnya juga memperoleh perhatian yang sama. Kelahiran Kurikulum Berbasis Kompetensi pada hakikatnya bertujuan mengurangi orientasi akademis dengan menekankan aspek kompetensi dalam seluruh aspek kemampuan siswa.
2)   Hubungan keluarga dan sekolah masih bersifat satu arah, biokratis, dan hirarkis.
      Hubungan seperti ini masih kental dalam kegiatan sekolah. Orangtua siswa akan datang ke sekolah dalam acara pengambilan rapor, pertemuan orang-tua siswa, penerimaan siswa baru, atau panggilan resmi dari kepala sekolah karena ada masalah yang berkenaan dengan kenakalan siswa masih bersifat birokratis. Dengan kata lain, hubungan sekolah dan orangtua siswa masih bersiifat satu arah, yakni dari sekolah kepada orangtua siswa. Belum banyak arah yang sebaliknya. Paling-paling surat pemberitahuan karena anaknya sakit, atau memintakan izin anak karena ada keperluan keluarga. Belum ada misalnya surat dari warga masyarakat atau orangtua yang berisi evaluasi atau masukan kepada sekolah. Dalam paradigma lama, sekolah dipandang sebagai unit birokratis yang terendah dalam satu hierarkis organisasi departemen pendidikan. Sebagai unit birokratis, maka pola layanan pendidikan kepada keluarga dan masyarakat menjadi kaku, karena adanya jalur-jalur birokrasi tertentu. Sebagai misal, untuk mengundang orangtua siswa perlu surat resmi dari sekolah. Sehingga kehadiran orangtua siswa ke sekolah yang tidak kerena surat panggilan seperti itu sering menimbulkan pertanyaan ’ada apa’ atau ’apakah Anda menerima surat panggilan dari sekolah’. Dalam hal ini sekolah lebih memosisikan dirinya lebih tinggi dari orangtua siswa. Posisi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat seharusnya setara.
3) Antara keluarga dan sekolah masih saling bersifat defensif. Merasa sebagai unit birokrasi terendah, maka hubungan antara sekolah dan keluarga lebih bersifatr defensif. Sekolah tidak merasa perlu berhubungan dengan keluarga dan masyarakat jika tidak ada keperluannya. Demikian juga sebaliknya pandangan orangtua dan masyarakat terhadap sekolah. Kalau ada masalah kenakalan anak, prestasi belajar yang rendah, sebagai misal, orangtua akan menyalahkan sekolah. Sebaliknya, menurut keluarga dan masyarakat, kesalalahan itu terletak pada pundak sekolah. Masalah itu seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.
4)  Perbedaan kultural dan sosial masih kurang mendapatkan perhatian secara wajar dan beberapa siswa termarjinalisasi, misalnya karena faktor social ekonomi. Sebagaimana proses belajar mengajar yang berlaku secara klasikal, maka perbedaan kultural dan sosial peserta didik kurang memperoleh perhatian dari sekolah secara wajar. Sebagai contoh, seorang guru kelas atau wali kelas tidak secara dini mengetahui latar belakang keluarga siswa. Sang guru baru mengetahui kondisi keluarga seorang siswa ketika sang anak tidak membayar uang sekolah untuk sekian bulan. Setelah ia menanyakan kepada siswa tersebut barulah diketahui bahwa siswa tersebut ternyata berasal dari keluarga yang beban hidupnya ditopang dari pekerjaan ibunya sebagai tukang cuci untuk para tetangganya. Seharusnya masalah tersebut sejak dini telah menjadi kepedulian bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Mediator antara tripusat pendidikan ini dapat dilakukan oleh Komite Sekolah.
5)   Sekolah masih sering memandang orangtua sebagai sumber masalah dan kritik.
      Ada kecenderungan saling menyalahkan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat jika terjadi permasalahan peserta didik. Sekolah menganggap keluarga dan masyarakat hanya sebagai tukang kritik. Sebaliknya keluarga dan masyarakat menganggap sekolah kurang cakap dalam mendidik anak-anak mereka, tanpa memberikan masukan kepada sekolah.
6)  Sekolah sering memandang masyarakat sebagai orang lain atau pihak yang berada di luar sekolah, kecuali diperlukan. Terkait dengan hubungan yang bersifat birokratis dan hierarkis tersebut, sekolah sering memandang masyarakat sebagai pihak yang berada di luar sekolah, kecuali diperlukan. Jadi keluarga, sekolah, dan masyarakat akan berhubungan jika diperlukan saja. Komitmen perlunya berkomunikasi dan bekerja sama antara  keluarga, sekolah, dan masyarakat hanya merupakan komitmen insidental, temporer, bukan komitmen abadi untuk kepentingan generasi muda bangsa. Berdasarkan gambaran singkat tentang pola hubungan tripusat pendidikan tersebut, maka kehadiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah memiliki landasan teoretis-ilmiah yang cukup kuat. Diharapkan kehadiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat memperbaiki pola hubungan tripusat pendidikan menjadi lebih baik lagi di masa mendatang sesuai dengan paradigma baru. Beberapa karakteristik dalam paradigma lama memang masih melekat dalam hubungan tripusat pendidikan di Indonesia. Namun demikian, di beberapa sekolah swasta di Indonesia pola hubungan itu mungkin lebih maju dibandingkan dengan di sekolah negeri. Hal ini terjadi, karena sekolah negeri di masa lalu lebih banyak memperoleh perhatian dan bantuan yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah swasta. Sementara kehidupan sekolah swasta amat ditentukan oleh peran serta orangtua dan masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak boleh tidak sekolah swasta harus dapat menggandeng orangtua dan masyarakat untuk menyatu secara singergis dalam membangun sekolah dan meningkatkan mutu pendidikannya. Sekolah dan orangtua serta masyarakat dalam posisi yang saling memerlukan.
Pola hubungan tripusat pendidikan diharapkan akan berubah menjadi lebih baik dengan pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yang menjadi wadah peran serta masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan catatan, lembaga itu tidak hanya sekedar menjadi stempel sekolah, seperti yang terjadi dengan BP3 atau POMG di masa lalu. Sebagai contoh, inilah yang terjadi di satu Sekolah Dasar yang boleh disebut telah mulai menerapkan paradigma baru ini. Menjelang kegiatan ulangan semester, semua orangtua siswa diundang ke sekolah. Dalam arena pertemuan yang sengaja dibuat tidak formal itu, semua siswa dan didampingi oleh masing-masing orangtuanya bertatap muka dengan kepada sekolah dan semua guru. Kepala sekolah menjelaskan tentang rencana kegiatan ulangan semester itu, yang menurut jadwal kurang dua minggu lagi. Akan lebih baik lagi jika jadwal ini dapat dilihat setiap hari pada papan pengumuman di halaman sekolah. Bunyinya ”Ulangan Semester kurang 14 hari lagi”. Setiap hari papan pengumuman ini akan diganti menjadi ”kurang 13 hari lagi”, “kurang 12 hari lagi” dan seterusnya. Sehari kemarin papan pengumuman itu masih tertulis ”Ulangan Semester kurang 15 hari lagi”. Pada saat papan pengumuman tersebut tertulis ”Ulangan Semester kurnag 14 hari lagi”, semua orangtua telah diundang ke sekolah untuk memperoleh penjelasan dari kepala sekolah tentang apa yang telah dilakukan sekolah selama ini dan apa saja yang perlu dilakukan oleh orangtua, termasuk untuk mendorong anaknya untuk belajar dan memberikan doa restu kepada siswa. Acara diakhiri dengan acara permohonan doa restu anak-anak kepada orangtua dan kepada semua gurunya dengan cara saling berjabat tangan. Ini merupakan satu prosesi yang terjadi di satu sekolah dasar swasta terkenal di Yogyakarta. Contoh tersebut minimal dapat dijadikan satu model atau bahan diskusi lebih lanjut tentang apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Semua itu dilakukan sematamata untuk kepentingan pendidikan siswa, anak-anak pewaris masa depan bangsa. www.mandikdasmen.kemdiknas.go.id 6
            Didalam GBPP PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar dalam menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami , menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dalam memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan Nasional. (Muhaimin, 2004 :76) 
            Usaha pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah diharapkan agar mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial sehingga pendidikan agama diharapkan jangan sampai : (1)  menimbulkan semangat fanatisme ; (2) menumbuhkan intoleran dikalangan peserta didik dan masyarakat indonesia; dan (3) memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional (Mentri Agama RI, 1996). Wal hasil, pendidikan agama islam di harapkan mampu menciptakan  Ukhuwah Islamiyah dalam arti luas,  yaitu  ukhuwah fi al-ubudiyah, ukhuwah fi al-insaniyah, ukhuwah fi al-wathoniyah wa al-nasab, ukhuwah fi din al-islam. ( Ibid: 82)
             





















KESIMPULAN
  1. Secara alamiah manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meningal, mengalami tahap demi tahap.
  2. pendidikan Islam dalam membangun manusia diarahkan pada pendidikan keseimbangan antara antara rohani dan jasmani, mencakup dimensi yang luas, bersentuhan langsung dengan kawasan duniawi, merembes ke kehidupan akhirat.
  3. Pendidikan Islam ialah bimbingan  yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki  kepribadian muslim.
  4. Pendidikan merupakan sebuah elmen kehidupan  dan basis kesempurnaan personal, sebab ia memainkan peranan dalam penyesuaian, pengembangan, mempertahankan fitrah positif, dan pendewasaan individu-individu secara optimal baik pendewasaan fisik maupun mentalnya.
  5. Pendidikan keluarga termasuk pendidikan informal dan bentuk kegiatannya ialah belajar secara mandiri
  6. Orang tua dalam keluarga, warga sekolah, dan warga masyarakat memiliki hubungan sesuai dengan kepentingan masing-masing dalam urusan pendidikan



DAFTAR PUSTAKA

Arifin, HM. Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Jakarta, Cet V, 1996.
Maragustam, Prof.Dr.H.M.Ag Mencetak Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna. Nuha litera. Yogyakarta, Cet. Pertama 2010
Muhaimin, Paradikma Pendidikan Islam, Bandung, 2003
Nizar,Samsul, Prof.Dr.H.M.Ag. Sejarah Pendidikan Islam menelusuri jejak sejarah pendidikan era Rasulullah sampai Indonesia. Yogyakarta, Kencana Prenada Media Group. Cet ke-3 2009
Bernadib, Imam, Pemikiaran tentang pendidikan baru. Yogyakarta, Andi Offset. 1983
www.mandikdasmen.kemdiknas.go.id

0 komentar:

Posting Komentar