Sabtu, 17 Maret 2012

KONSEP PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM



MAKALAH
Dipresentasikan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Pendekatan Dalam Pengkajian pendidikan Islam
Yang dibina oleh :
Prof. Dr. H. Abdul A’la
Dr. H. Syamsun Ni’am, M.Ag.






Oleh :
ST. MUANIFAH
NIM. 08 49110130


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
STAIN JEMBER
NOPEMBER 2011

DAFTAR ISI
Judul .........................................................................................................................  i
Daftar Isi ...................................................................................................................  ii
I. PENDAHULUAN ...............................................................................................  1
A.     Latar Belakang................................................................................ 1
B.     Masalah atau Topik Bahasan.......................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan Makalah.............................................................. 2
II.  PEMBAHASAN ................................................................................................  3
A.     Pendidik dalam Pendidikan Islam.................................................. 3
B.     Kompetensi Pedagogik................................................................... 8
C.     Kompetensi Kepribadian................................................................ 9
D.     Kompetensi Sosial.......................................................................... 11
E.      Kompetensi Profesional.................................................................. 11
III. PENUTUP .........................................................................................................  20
A.     Kesimpulan..................................................................................... 20
B.     Saran ..............................................................................................  21
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................  22







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai seorang Pendidik tentu banyak menghadapi berbagai persoalan pembelajaran,
Baik ketika dikelas, luar kelas, bahkan luar sekolah. Tugas guru yang paling pokok adalah mendidik bukan mengajar. Mendidik adalah proses transfer nilai ( transfer of value ), sedangkan mengajar merupakan proses transfer pengetahuan ( transfer of knowledge ). Proses mendidik tidak hanya berlangsung dikelas, sedang mengajar hanya saat proses pembelajaran berlangsung.
            Konsep bararti rang, rancangan, buram, atau rancangan dari sebuah tulisan. Asumsi yang melandasi keberhasilan pendidikan Islam dapat diformulasikan sebagai berikut: “Penduduk muslim akan berhasil menjalankan tugas kependidikan bilamana ia memiliki kompetensi personal religius dan kompetensi profesional religius”.
            Karena proses pendidikan lebih penting, maka seorang pendidik harus memperkuat kompetensi yang relevan dengan tugas mendidik. Bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Untuk itu penulis akan membahas tentang Konsep Pendidik dalam Pendidikan Islam.
B.     Masalah atau Topik Bahasan
1. Eksistensi Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam
2.Kompetensi pedagogik
3. Kompetensi kepribadian
4. Kompetensi sosial
5. Kompetensi profesional


C.  Tujuan Penulisan Makalah
      Makalah ini disusun untuk membahas tentang sejumlah Konsep pendidik dalam pendidikan Islam, sehingga diharapkan dapat memberikan sedikit kontribusi dalam dunia pendidikan Islam yang semakin ketat bersaing dengan dunia barat pada era globalisasi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Eksistensi Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam
1.      Konsep Pendidik
Dalam konteks pendidikan Islam “pendidik” sering disebut dengan “murabbi, mu’alim, mu’addib”. Ketiga istilah tersebut mempunyai penggunaan tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam “Pendidikan dalam konteks Islam”. Disamping itu, istilah pendidik kadang kala disebut melalui gelarnya “al-ustadz dan Syaikh”
Pendidik adalah salah satu unsur penting dari proses kependidikan. Pendidikan merupakan cultural transition yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontinyu, sebagai sarana vital bagi membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia. Dalam hal ini, pendidik bertanggungjawab memenuhi kebutuhan peserta didik, baik spiritual, intelektual, moral, estetika maupun kebutuhan fisik peserta didik.
Secara umum,pendidik adalah orang yang mempunyai tanggungjawab untuk mendidik.[1] Sementara secara khusus pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[2]
Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua sendiri yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak kandungnya (peserta didik). Firman Allah Swt;
يا ايها الذين امنوا قوا انفسكم واهليكم نارا     (التحريم :    )
Artinya ;
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka ...” (QS. At-Takhrim 66 ;6)
      Namun orang tua tidak mungkin bisa mendidik sendiri selama 24 jam karena harus mencari nafkah untuk keluarga, maka orang tua menyerahkan anaknya kepada pendidik disekolah (murrabi, mu’alim, mu’adib) untuk mendidik.
      Dalam terminologi pendidikan modern, para pendidik disebut orang yang memberikan pelajaran kepada anak didik dengan memegang satu disiplin ilmu disekolah. Selain itu semua orang yang terlibat dalam proses pendewasaan anak melalui pengembangan jasmani dan rohaninya selain orang tua dan guru disekolah, dalam konsep Islam adalah Pendidik.
      Dalam pandangan Islam, pendidik mempunyai kedudukan yang tinggi, sesuai hadits Rasulullah Saw yang artinya : “Tinta seorang ilmuwan (ulama) lebih berharga daripada darah para syuhada”.
2.      Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam
Dalam Islam, tugas pendidik dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia. Allah Swt berfirman ;
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوالعلم درجات والله بما تعملون خبير (المجادلة :     )
Artinya: “ ... Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah: 11)
      Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa tugas utama Pendidik adalah:[3]
a.Menyempurnakan
b. Membersihkan
c. Menyucikan, serta
d. Membawakan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah Swt.
      Menurut Ahmad D. Marimba, tugas pendidik dalam pendidikan Islam adalah membimbing dan mengenal kebutuhan atau kesanggupan peserta didik, menciptakan situasi yang kondusif bagi berlangsungnya proses kependidikan, menambah dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki guna ditransformasikan kepada peserta didik, serta senantiasa membuka diri terhadap seluruh kelemahan atau kekurangannya.[4]
      Dalam batasan lain, tugas pendidik dapat dijabarkan dalam beberapa pokok pikiran yaitu:[5]
1)      Sebagai pengajar (instruksional), bertugas merencanakan program yang disusun dan pelaksanaan penilaian setelah program dilaksanakan.
2)      Sebagai pendidik (educator), mengarahkan peserta didik pada tingkat kedasaan kepribadian sempurna (insan kamil), seiring dengan tujuan penciptaan-Nya.
3)      Sebagai pemimpin (managerial) memimpin, mengendalikan diri (baik diri sendiri, peserta didik, maupun masyarakat), upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan.
3.      Karakteristik dan Kompetensi-kompetensi Pendidik dalam Pendidikan Islam.
An-Nahlawi membagi karakteristik pendidik muslim dalam beberapa bentuk:
a.      Mempunyai watak dan sifat rabbaniyah yang terwujud dalamtujuan, tingkah laku dan pola pikirnya.
b.      Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran.
c.       Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
d.      Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e.       Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.
f.       Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi, sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan.
g.      Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan profesional.
h.      Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.
i.        Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berfikir peserta didik.
j.        Berlaku adil terhadap peserta didiknya.[6]
Sementara Al-Abrasy memberikan batasan tentang karakteristik pendidik adalah;
a.      Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud, yaitu melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, tetapi lebih dari itu karena mencari keridhaan Allah Swt.
b.      Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya dari segala macam kotoran dan bersih jiwanya dari segala macam sifat tercela.
c.       Seorang pendidik hendaknya ikhlas dan tidak riya’ dalam melaksanakan tugasnya.
d.      Bersikap pemaaf terutama terhadap peserta didiknya, sabar dan sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga kehormatannya.
e.       Mampu mencintai peserta didiknya sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri.
f.       Mengetahui karakter peserta didiknya, seperti; pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang dimilikinya.
g.      Menguasai pelajaran yang diajarkannya dengan baik dan profesional.
Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, juga Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, standar kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.[7]
Kompetensi Guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 PP 74/2008, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Empat kompetensi guru tersebut bersifat holistik, artinya merupakan satu kesatuan utuh yang saling terkait. Sebagaimana yang akan penulis bahas dibawah ini.



B.     Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada PP 74/2008 dan Permendiknas Nomor 16/2007 merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik sekurang-kurangnya meliputi:[8]
1.      Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
2.      Pemahaman terhadap peserta didik
3.      Pengembangan kurikulum atau silabus
4.      Perancangan pembelajaran
5.      Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
6.      Pemanfaatan teknologi pembelajaran
7.      Evaluasi hasil belajar
8.      Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Pendidikan agama Islam memerlukan persyaratan khusus antara lain:[9]
a.      Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori yang mendalam; teori pendidikan, keguruan, ilmu agama;
b.      Menekankan pada keahlian bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya; menguasai ilmu agama Islam, Alquran (termasuk kemampuan membaca fasih dan menulis yang benar);
c.       Menuntut adanya tingkat pendidikan-pendidikan keguruan yang memadai; S1 Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
d.      Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya, bila berhasil maka masyarakat dan generasi mendatang akan menjadi baik, (dalam membaca Alquran, rajin ibadah amal shaleh dan berakhlakul karimah), bila gagal akan fatal akibatnya.
e.       Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan (toleran, demokratif, inklusif, etos belajar, etos kerja, jujur dan seterusnya).
f.       Memiliki komitmen, niat mengemban amanah, misi dakwah, atau mewakafkan diri sebagai guru pendidikan agama.
C.    Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian berisi tentang integritas karakter dan profil kepribadian guru meliputi;[10]
1.      Beriman dan bertakwa
2.      Berakhlak mulia
3.      Arif dan bijaksana
4.      Demokratis
5.      Mantap
6.      Berwibawa
7.      Stabil
8.      Dewasa
9.      Jujur
10.  Sportif
11.  Menjadi teladan peserta didik dan masyarakat
12.  Secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri
13.  Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kemampuan pribadi ini meliputi hal-hal sebagai berikut .[11]
a.      Mengembangkan kepribadian
1)      Bertakwa kepada Allah Swt.
2)      Berperan dalam masyarakat sebagai warga negara yang baik.
3)      Beragama Islam.
4)      Mengembangkan sifat-sifat terpuji yang dipersyaratkan sebagai guru agama.
b.      Berinteraksi dan berkomunikasi.
1)      Berinteraksi dengan sesama guru untuk meningkatkan profesionalismenya.
2)      Berinteraksi dengan masyarakat untuk menunaikan misi pendidikan agama.
3)      Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan bagi anak yang kesulitan belajar atau yang memiliki kelainan atau berbakat khusus.
4)      Melaksanakan adminidtrasi sekolah.
5)      Melaksanakan penelitian sederhana untuk kepentingan dan keberhasilan pendidikan agama.
Definisi Berthal tentang Soft Skills, yaitu perilaku personal dan interpersonal yang
mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia seperti membangun tim, pembuatan keputusan, inisiatif, dan komunikasi.[12]
            Soft skills pada dasarnya merupakan keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal.
            Dari pengertian tersebut, soft skills merupakan kualitas diri yang bersifat kedalam dan keluar. Kompetensi kepribadian salah satu yang harus dimiliki guru seperti kejujuran, komitmen, bertanggung jawab, bersyukur, ikhlas, dan cinta profesi, ditambah dengan kualitas sosial seperti mampu beradaptasi, mampu bekerja dalam tim, mampu berkomunikasi secara efektif, mampu memberi motivasi kepada orang lain, mampu menghadapi perbedaan.
D.    Kompetensi sosial
Sementara itu, kompetensi sosial lebih mengacu pada kematangan guru dalam
Membangun relasi dengan pihak lain dalam konteks pendidikan seperti peserta didik, kolega, orang tua murid, asosiasi profesi lain, dan komunitas lain pada umumnya. Kompetensi sosial merupakan wujud dari interpersonal skills adalah keterampilan bernegosiasi, presentasi, melakukan mediasi, kepemimpinan, berkomunikasi dengan pihak lain, dan berempati dengan pihak lain.[13]
            Berdasarkan PP 74/2008 dan Permendiknas Nomor 16/2007, Kompetensi sosial meliputi;
1.      Berkomunikasi lisan, dan atau isyarat secara santun
2.      Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional
3.      Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan kependidikan, orang tua atau wali peserta didik
4.      Bergaul dengan santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku
5.      Menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
E.     Kompetensi profesional
Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru profesional, al-Ghazali
            Menyebutkan beberapa hal sebagai berikut :[14]
1.      Guru ialah orangtua kedua didepan murid
Seorang guru akan berhasil melaksanakan tugasnya apabila mempunyai rasa tanggung
Jawab dan kasih sayang terhadap muridnya sebagaimana orangtua terhadap anaknya sendiri. Sebuah hadits menyatakan :
            “ Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya.” ( HR. Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah )
            Hadits diatas menuntut seorang guru, agar tidak hanya menyampaikan pelajaran semata tetapi berperan sebagai orang tua. Jika setiap orang tua senantiasa memikirkan nasib anaknya agar kelak menjadi manusia yang berhasil, dapat melaksanakan tugas hidupnya, bahagia dunia akhirat, seorang guru pun seharusnya demikian juga perhatiannya terhadap muridnya.
            Persoalannya, interaksi belajar mengajar antara guru dan murid dalam dunia pendidikan dewasa ini kurang mendapat perhatian dari semua pihak. Seorang guru sering tidak mampu tampil sebagai figur yang pantas diteladani dihadapan murid, apalagi berperan sebagai orang tua. Karena itu seringkali guru dipandang dan dinilai oleh muridnya tidak lebih hanya sebagai orang lain yang bertugas menyampaikan materi pelajaran karena dibayar. Kalau sudah demikian, bagaimana mungkin seorang guru dapat membawa, mengarahkan, membimbing dan menunjukkan muridnya kepada pendewasaan diri sehingga menjadi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab. Oleh karena itu wahai guru, perhatikan segala persyaratan profesimu, perankanlah dirimu dihadapan anak didikmu sebagai orang tua, junjung tinggilah tugas muliamu jangan sampai lengah menanamkan nilai kepada muridmu.


2.      Guru sebagai pewaris ilmu Nabi
Seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu
akhirat, harus mengarah kepada tujuan hidup muridnya yaitu mencapai hidup bahagia dunia akhirat. Guru harus membimbing muridnya agar ia belajar karena ijazah semata, hanya bertujuan menumpuk harta, menggapai kemewahan dunia, pangkat dan kedudukan, kehormatan dan popularitas. Dan tugasnya ini akan berhasil apabila dalam mengajar ia berbuat sebagaimana rasul, bukan untuk mencari harta benda dan kemewahan duniawi, melainkan untuk mengharap ridha Allah, ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Seorang guru yang materialistis akan membawa kehancuran baik bagi dirinya sendiri maupun muridnya. Al-Ghazali berkata :
            “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka ia bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang memperhamba menjadi orang yang diperhamba dan orang yang diperhamba menjadi orang yang memperhamba”.
            Pernyataan al-Ghazali yang bernada mencela guru yang menuntut upah dari murid tidak harus diartikan bahwa ia melarang guru menerima upah sebagaimana kesimpulan al-Ahwani dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi seorang guru karena harus mengikuti jejak rasul.
            Memang sebelumnya al-Ghazali berkata :
            “Hendaklah guru mengikuti jejak Rasulullah Saw. Maka ia tidak mencari upah, balasan dan terima kasih. Tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya”.
            Pernyataan ini dapat diartikan bahwa guru harus ikhlas. Tetapi kriteria ikhlas itu sendiri bukan hanya bersih dari tujuan lain selain Allah yang bersifat lahir seperti mengajar untuk mendapatkan gaji, misalnya. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupakan proses panjang, sepanjang usia manusiadalam usahanya menjadikan dirinya menjadi manusia yang sempurna. Sebagaimana dinyatakan al-Ghazali lebih lanjut:
            “Yang disebut khalis atau orang yang ikhlas ialah yang dalam bekerja atau beramal dan semua aktivitas yang bernilai ibadah tidak ada motivasi lain kecuali mencari kedekatan diri kepada Allah”.
            Jadi pada prinsipnya al-Ghazali tidak mengharamkan guru untuk menerima upah. Bahkan jika dikembalikan kepada pernyataan al-Ghazali dan penilaiannya tentang profesi guru, ia dianggap yang paling agung, justru karena tugas mengajarnya itu.
3.      Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
Berdasarkan keikhlasan dan kasih sayangnya, guru selanjutnya berperan sebagai penunjuk jalan bagi murid dalam mempelajari dan mengkaji pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Hendaknya seorang guru tidak segan-segan memberikan pengarahan kepada muridnya agar mempelajari ilmu secara runtut, setahap demi setahap. Hal ini mengingat bahwa manusia tidak mampu merangkum ilmu pengetahuan secara serempak dalam satu masa perkembangannya.
            Disamping itu, seorang guru jangan lupa memberi nasihat kepada murid untuk meluruskan niat, bahwa tujuan belajar tidak hanya untuk meraih prestasi duniawi, misalnya agar menjadi kepala instansi atau kepala  bagian pemerintahan, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengembangkan ilmu itu sendiri, menyebarluaskannya dan mendekatkan diri kepada Allah. Al-Ghazali berkata :
            “Hendaknya seorang guru tidak lupa sekejap pun memberikan nasihat kepada murid. Yang demikian itu ialah dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai pada tingkat itu. Dan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Kemudian menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu ialah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan keinginan menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan. Haruslah dikemukakan keburukan sifat-sifat itu sejauh mungkin”.


4.      Guru sebagai sentral figur bagi murid
Al-Ghazali menasihatkan kepada setiap guru agar senantiasa menjadi teladan dan
pusat perhatian bagi muridnya. Ia harus mempunyai karisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting bagi seorang guru untuk membawa murid ke arah mana yang dikehendaki. Disamping itu, kewibawaan juga sangat menunjang dalam perannya sebagai pembimbing dan penunjuk jalan dalam masa studi muridnya. Semua perkataan, sikap dan perbuatan yang baik darinya akan memancar kepada muridnya. Hal ini tidak berarti bahwa guru harus berada jauh dengan siswa. Kembali kepada perannya sebagai orang tua kedua dan sifat kasih sayang yang harus dimilikinya, adalah bijaksana jika seorang guru dalam suasana tertentu berperan sebagai kawan bermain dalam rangka bimbingan ke arah terwujudnya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
            Sebaliknya, jika seorang guru tidak mampu menjadi sentral figur di hadapan siswanya, ia akan kewalahan dan tidak akan memperoleh apa yang diharapkan dari siswanya. Dalam kondisi seperti ini, dimana dalam proses belajar mengajar tidak ada lagi yang dijadikan teladan, usaha pendidikan menggali fitrah atau potensi dasar sebagai sumber daya yang dimiliki manusia terhambat. Jika ini berlangsung sepanjang proses pendidikan, kegagalanlah yang akan diperoleh.
            Dari uraian diatas, tampak bahwa profesi guru sangat menentukan kelangsungan hidup suatu bangsa. Kejayaan atau kehancuran suatu bangsa boleh dikatakan sangat bergantung pada keberadaan guru-guru yang membidani lahirnya generasi muda. Alasannya, karena potensi manusia akan mempunyai makna dan dapat memanfaatkan sumber daya alam yang selanjutnya berguna bagi kehidupan manusia, hanya setelah digali melalui pendidikan, dan subyek yang paling berperan secara langsung dalam proses pendidikan adalah guru. Oleh karena itu, seorang guru harus mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi dan senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip mengajar seperti kasih sayang, tidak membesar-besarkan kesalahan murid, tidak mengejek atau mencelanya walau hal itu bertujuan mengubah pribadi murid yang tidak baik. Disamping itu, seorang gurujuga harus menghindarkan diri dari menggunakan kekerasan dalam mengubah perilaku murid menjadi halus dan berakhlak mulia. Sedapat mungkin dalam memberikan nasihat, seoramg guru menggunakan kata-kata kiasan atau sindiran, tidak secara langsung, karena cara yang kurang bijaksana dalam mengubah perilaku dapat menyebabkan murid mungkin takut kepada guru, sungkan, menentang atau berani kepadanya. Al-Ghazali berkata :
“Guru hendaknya menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran dan tidak dengan cara terus terang, tetapi sebaliknya dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab kalau dengan cara terus terang, murid akan takut kepada guru, dan mengakibatkan ia berani menentang dan suka sifat yang jahat itu”.
5.      Guru sebagai motivator bagi murid
Sesuai dengan pandangannya terhadap manusia, bahwa manusia tidak mampu merangkum sejumlah ilmu pengetahuan dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada guru agar bertanggung jawab kepada salah satu bidang studi saja. Namun demikian, al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru tidak mengecilkan, merendahkan apalagi meremehkan bidang studi lain dihadapan murid. Sebaliknya ia harus memberikan peluang kepada murid untuk mengkaji berbagai ilmu pengetahuan. Kalaupun terpaksa harus bertanggung jawab atas beberapa bidang studi, haruslah cermat, memperhatikan kemampuan masing-masing murid, sehingga dapat maju setingkat demi setingkat.Inilah antara lain satu usaha yang dapat mensukseskan tugas seorang guru dalam mengajar, yakni mendorong muridnya agar senang dengan kegiatan belajar.
Seorang guru yang tidak dapat menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa sehingga murid senang belajar, mengetahui tujuannya dan menyadari hakikat belajar, yakni sebagai bekal hidup, berarti ia dalam melaksanakan tugasnya telah 50% mengalami kegagalan. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya pandai-pandai dalam mendorong muridnya.

6.      Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid
Menurut al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan dan berpengaruh
terhadap perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0 - 6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6 - 9 tahun, anak berusia 6 - 9 tahun berbeda dengan anak usia 9 - 13 tahun, dan seterusnya. Atas dasar inilah al-Ghazali mengingatkan agar guru dapat menyampaikan ilmu pengetahuan dalam proses belajar mengajar sesuai dengan tingkat pemahaman murid. Untuk itu, disamping cakap guru juga harus dapat menggunakan metode yang tepat. Al-Ghazali berkata :
“Guru hendaklah merangkumkan bidang studi, menurut pemahaman murid. Jangan diajarkan bidang studi yang belum sampai kesana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul”.
7.      Guru sebagai teladan bagi murid
Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi, Rasulullah dijadikan oleh Allah dalam pribadinya teladan yang baik. Apa yang keluar dari lisannya sama dengan apa yang ada di dadanya. Seorang guru, kata al-Ghazali, seharusnya juga demikian dalam mengamalkan pengetahuannya, bertindak sesuai dengan apa yang telah dinasihatkan kepada murid. Hal yang menonjol berkaitan dengan tugas seorang guru adalah masalah moral, etika atau akhlak, dimana itu terhimpun dalam ajaran agama.
Di Indonesia, pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur.
Maka guru sebagai subyek dalam pendidikan yang paling berperan , sebelum melaksanakan tugasnya, yakni mendidik dan mengajar, harus telah menjadi orang yang beriman, bertakwa dan berbudi luhur. Tanpa memenuhi persyaratan ini, mustahil akan terwujud manusia Indonesia seperti dirumuskan diatas sebagai tujuan atau arahan pendidikan nasional. Kiranya tepat apa yang telah dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989, bahwa untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik, ia harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk itu wahai guru, amalkan ilmumu jangan berlainan dengan perbuatanmu, ingat dan camkan dua ayat dibawah ini :
اتٲﻣﺮﻭﻥﺍﻠﻨﺎﺱﺑﺎﻠﺑﺮﻮﺘﻨﺴﻮﻦﺍﻧﻔﺴﻜﻡ…﴿ﺍﻠﺑﻘﺮﺓ:٤٤)
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan (kewajiban) mu sendiri ... (QS. Al-Baqarah: 44)

ﻜﺑﺮﻤﻘﺘﺎﻋﻨﺪﷲﺍﻦﺘﻗﻮﻠﻮﺍﻤﺎﻻﺘﻔﻌﻠﻮﻦ﴿ﺍﻠﺼﻒ :  ۳﴾
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”.(QS. Ash-Shaf: 3)
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, tamsil berikut ini memberikan kejelasan bagi
Kita seperti dikatakan oleh al-Ghazali:
“Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya... perumpamaan guru yang membimbing murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok”.
Kompetensi Profesional menurut PP 74/2008 dan Permendiknas nomor 16/2007, merupakan kemampuan Guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya meliputi penguasaan;[15]
a.      Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang diampu
b.      Konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok m.ata pelajaran yang akan diampu.
Sementara itu khusus untuk GPAI, Permenag Nomor 16 Tahun 2010 menambah satu kompetensi lagi yaitu; kompetensi kepemimpinan (Leadership) yakni kompetensi GPAI untuk mempengaruhi semua komunitas sekolah guna penciptaan budaya keagamaan disekolah (religious culture).






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
      Dalam konteks pendidikan Islam “pendidik” disebut murabbi, mu’alim,mu’addib kadang disebut juga al-Ustadz dan Syaikh.
      Pendidik merupakan unsur penting dari proses kependidikan, maka dapat dipahami bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya baik sebagai khalifah fi al-ardh dan ‘abd sesuai ajaran Islam.
Guru profesional menurut Imam al-Ghazali sebagai berikut:
a.       Guru ialah orang tua kedua didepan murid
b.      Guru sebagai pewaris ilmu Nabi
c.       Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
d.      Guru sebagai sentral figur bagi murid
e.       Guru sebagai motivator bagi murid
f.       Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid
g.      Guru sebagai teladan bagi murid.
      Tugas pendidik dalam pendidikan Islam merupakan tugas yang sangat mulia, Imam al-Ghazali mengemukakan tugas utama pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah Swt.
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 dan PP Nomor 74 Tahun 2008, menyebutkan, Standar kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati , dikuasai dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional. Khusus untuk GPAI, Permenag Nomor 16 Tahun 2010 menambah satu kompetensi lagi yaitu kompetensi kepemimpinan (Leadership).

B.     SARAN
            Saran yang membangun dari para pembaca penulis harapkan berkenaan dengan sistematika penulisan makalah ini, sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat bagi semuanya.
     













DAFTAR PUSTAKA
Shaleh, Abdul Rahman. 2006.Pendidikan Agama & pembangunan watak bangsa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Muqowim. 2011. Modul Pengembangan Soft Skill Guru PAI. Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia.
Rusn, Abidin Ibnu. 1998.Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI)
Arif, Arifuddin. 2008. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kultura (PT Press Group)
Hamim, Nur dan Tim. 2011. Bahan Ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, Surabaya: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel.


[1] Ahmad D. Marimba, Pengertian Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1989),  37.
[2] Ahmad tafsir,Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992),  74.
[3] Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura (GP Press Group),  2008),  64.
[4] Ahmad D. Marimba, Op Cit,  39.
[5] Arifuddin Arif, Op Cit,  65
[6]Arifuddin Arif, Op Cit  66.
[7] Nur Hamim dan Tim, Bahan Ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (Surabaya: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel,  2011), 5.
[8] Ibid,  5.
[9]Abdul Rachman Shaleh , Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa (Jakarta:  PT Raja Grafindo Persada, 2006).
[10]Nur Hamim dan Tim, Op Cit  6.
[11]Abdul Rachman Shaleh, Op Cit, 285.
[12] Muqowim , Modul Pengembangan soft skills Guru PAI (Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, 2011), 10.
[13]Ibid h. 16.
[14]Ibnu Rusn Abidin , Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI),  1998),  67.
[15]Nur Hamim dan Tim, Op Cit, 6.

0 komentar:

Posting Komentar