Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Al-Qur’an
Yang dibina oleh Dr. H Aminullah El Hady; M.Ag.
Oleh:
IDRIS MAHMUDI, Amd.Kep; S.Pd.I.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
STAIN JEMBER
Desember, 2011
Prolog
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa keberadaan al-Quran bukan hanya sebagai kitab keagamaan, sejarah atau budaya saja, selain sebagai mukjizat Islam ia juga memiliki kedudukan primer, sakaligus sentral bagi inspirator tasyri' samawi dalam menata kehidupan, pemikiran dan kebudayaan umat islam tentunya, mukjizatnya selalu di perkuat oleh modernisasi, semakin maju ilmu pengetahuan, maka akan semakin tampak pula validitas kemu'jizatannya. Al-Quran juga sebagai syari'at samawi yang diturunkan pada rasul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan muamalah.
Terkait hukum Tasyri’ inilah muncul kontroversi. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri' pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri' pada periode yang lain. Tetapi tidak di ragukan lagi bahwa pembuat syariat (Musyarri'), yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang hanya milik-Nya.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri' dengan tasyri' lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri' dengan tasyri' lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
Definisi
Secara Lughowi Nasakh berarti Penghapusan, Pengalihan, dan pemindahan. (As-Suyuthi, 2007 : 85). Kata an-naskhu ( النسخ) berasal dari naskhul-kitaab ( نسخ الكتاب ), yaitu menukil dari suatu naskah ke naskah lainnya ( وهو نقله من نسخة إلى أخرى غيرها ). Demikian halnya naskhul-hukmi ( نسخ الحكم ), berarti penukilan dan pemindahan redaksi ke redaksi yang lain, baik yang dinasakh itu hukum mapun tulisannya, karena keduanya tetap saja berkedudukan mansukh (dinasakh).
Sedangkan menurut istilah, nasakh adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap Syari’at terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”. Sedang mansukh adalah yang dihapus, secara istilah bacaaan atau ayat Al-Qur’an atau suatu hukum terdahulu yang dihapus. Di dalam Al-Quran, kata nasakh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29.
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti nasakh sehingga mencakup:
(a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian (menasakh-mansukh);
(b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian (men-takhsish);
(c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar (Al-Munsa' / penundaan);
(d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.(As-Suyuthi, 2007 : 88).
Tentang adanya ayat Al-Qur’an atau hukum syaria’at dari Al-Qur’an yang Nasakh dan Mansukh terjadi kontroversial. Ada yang berpendapat terjadi Nasakh dan Mansukh, juga ada yang berpendapat tidak ada Nasakh-Mansukh. Misalnya, Seorang mufassir, Abu Muslim Al-Asbahani mengatakan : “Tidak ada nasakh dalam Al-Qur’an”. Pendapat Abu Muslim itu sangat lemah dan patut ditolak. Penulis sendiri dalam makalah ini secara Dzonni berkeyakinan Nasakh-Mansukh dalam ayat dan hukum Al-Qur’an itu memang ada sebagaimana Nasakh-Mansukh dalam Hadis Nabi SAW.
Pembahasan
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqaraha : 106).
Mengenai firman Allah { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما , ia mengatakan : Artinya : ما نبدل من آية = “yang Kami (Allah) gantikan”.
Masih mengenai ayat yang sama, dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayatkan { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, maksudnya adalah ما نمحو من آية = “ayat mana saja yang Kami (Allah) hapuskan”.
Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia menuturkan : { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, artinya : نثبت خطها ونبدل حكمها = “Kami (Allah) biarkan tulisannya, tetapi Kami ubah hukumnya”. Hal itu diriwayatkan dari beberapa shahabat Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه.
Mengenai bacaan au nunsihaa { أو ننسها}, ‘Abdur-razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya : { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا}, ia mengatakan :
كان الله عز وجل: ينسي نبيه صلى الله عليه وسلم ما يشاء, وينسخ ما يشاء
“Allah subhanaahu wata’ala menjadikan Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam lupa dan menasakh ayat sesuai dengan kehendak-Nya”.
Salah satu ayat yang dinasakh atau mungkin Allah sengaja menjadikan lupa pada nabi Muhammad serta para sahabat adalah :
الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة
“Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya”.
Juga firman-Nya :
لو كان لابن آدم واديان من ذهب لابتغى لهما ثالثا
”Seandainya Ibnu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya mereka akan mencari lembah yang ketiga”.
Dalam masalah nasakh, para ulama terbagi atas empat golongan :
- Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya nasakh, karena menurutnya nasakh mengandung konsep al-badâ', yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas).
- Orang Syiah Râfidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan meluaskannya, dengan memandang konsep al-badâ' sebagai sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. secara dusta dan palsu. Dan juga dengan firman Allah:يمح الله ما يشاء ويثبت (الرعد : 39 "Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki)". (al-Ra'd:13) , oleh mereka diartikan “Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan”.
- Abu Muslim al-Asfihani. Menurutnya, secara logika nasakh memang dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara'. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi nasakh dalam Quran untuk menghindari distorsi pemahaman mengenai kemurnian al-Quran, maka makna nasikh perlu ditinjau ulang. Dia memberikan definisi, bahwa nasikh-mansukh tiada lain hanyalah persoalan “am dan khas”, atau bisa diartikan sebagai proses meng ”update” pemaknanaan, sehinga sebenarnya tidak ada yang hilang komponennya, yang ada hanyalah peningkatan (upgrade) atau kualitas makna.
- Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nasakh adalah sesuatu hal yang dapat diterima akal dan juga terjadi dalam hukum-hukum syara', berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Pemaparan singkat diatas menunjukkan bahwa masalah kontradiksi nasakh-mansukh belum juga terselesaikan.
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian nasakh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata nasakh). Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi (Ta’arudl), yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Nasakh terbagi atas empat bagian :
Pertama, nasakh Quran dengan Quran, bagian ini di sepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh, seperti ayat yang menjelaskan tentang iddah empat bulan sepuluh hari.
Kedua, nasakh Quran dengan Sunnah, dan nasakh ini juga terbagi atas dua macam :
Kedua, nasakh Quran dengan Sunnah, dan nasakh ini juga terbagi atas dua macam :
1. Nasakh Quran dengan hadis âhâd. Ulama jumhur berpendapat, Quran tidak boleh di nasakh oleh hadist ahad, sebab Quran adalah mutawâtir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zannî bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma'lum (jelas di ketahui) dengan yang maznûn (di duga).
2. Nasakh Quran dengan hadis mutawatir. Nasakh demikian di bolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
Ketiga, nasakh Sunnah dengan Quran, seperti yang di sepakati oleh jumhur ulama. Sebagai contoh yaitu tentang masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan dengan sunnah, seruan puasa pada hari 'Asyura, yang keduanya ini di tetapkan berdasarkan sunnah dan dinasakh oleh Quran.
Keempat, nasakh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
Keempat, nasakh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
(a) nasakh mutawatir dengan mutawatir;
(b) nasakh âhâd dengan âhâd;
(c) nasakh âhâd dengan mutawatir;
(d) nasakh mutawatir dengan âhâd.
Tiga bentuk pertama di bolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Quran dengan hadits ahad yang tidak di perbolehkan oleh jumhur ulama.
Dari sisi lain, sebagian ulama membagi nasakh menjadi tiga bagian:
a. Nasakh tentang seruan sebelum terlaksanakan, dan bagian ini termasuk arti sebenanrnya tentang nasakh, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. menyembelih anaknya. Dan juga seperti firman Allah:
اذا ناجيتم الرسول فقدموابين يدي نجواكم صدقة.(المجادلة : 12)
kemudian di nasakh dengan ayat: أأشفقتم ان تقدموابين يدي نجواكم صدقات. (المجادلة : 13 )
اذا ناجيتم الرسول فقدموابين يدي نجواكم صدقة.(المجادلة : 12)
kemudian di nasakh dengan ayat: أأشفقتم ان تقدموابين يدي نجواكم صدقات. (المجادلة : 13 )
b. Nasakh tajawwuz, "syariat yang telah di wajibkan pada umat terdahulu", seperti kewajiban qishas, dan diyat, begitu juga seruan pada perkara yang bersifat umum, yang kemudian di nasakh, seperti nasakh perintah menghadap Baitil Maqdis dengan perintah menghadap Ka'bah, dan seperti nasakh puasa 'Asyura dengan puasa Ramadhan.
c. Seruan karena ada sebab yang kemudian sebab itu hilang. Seperti perintah sabar dan berpaling dari peperangan, yang kemudian di nasakh dengan seruan perang.(As-Suyuthi, 2007 : 87-88).
Nasakh dalam al-Quran ada tiga macam:
Pertama, nasakh tilâwah dan hukum. Maka karena itu tidak boleh membaca dan mengamalkannya, karena telah dinaskh secara keseluruhan, seperti ayat penyebab
muhrim dengan sepuluh susuan.
Kedua, nasakh tilawah, sedang hukumnya tetap. Untuk kedua macam nasakh ini keberadaannya sangat sedikit, karena Allah menurunkan al-Quran agar manusia mendapat pahala dengan membacanya dan hukum-hukumnya.
Ketiga, nasakh hukum, sedang bacaannya masih.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat dikalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya nasakh dalam al-Quran. (As-Suyuthi, 2007 : 89-90).
Hikmah Nasakh-Mansukh
- Memelihara kepentingan hamba.
- Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
- Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
- Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya nasakh dengan menyatakan bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.
Ada dua butir yang harus digaris bawahi dari pernyataan Al-Maraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.
Epilog
Nasikh adalah perbuatan Allah yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti Dia sewenang-wenang dan menganiaya, akan tetapi semua hukum dan perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan pengetahuan, terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib untuk menguji loyalitas seorang hamba. Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-nasakh al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi Muhammad saw).
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Jalaludin. Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an, PT Bina Ilmu, 2007. Surabaya.
Ma’rifat, Hadi. Sejarah Al-Qur’an, Al-Huda, 2007. Jakarta.
Mahmud, Mani’ Abdul halim. Metodologi Tafsir-Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, PT Raja Grafindo Persada, 2006. Jakarta.
Quthan, Mana’ul. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, PT Rineka Cipta, 1998. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar