Sabtu, 17 Maret 2012

SEJARAH LAHIR DAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN KLASIK SAMPAI MODERN





MAKALAH


Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Ilmu Yang dibimbing oleh :
Dr. Ahidul Asror, M.Ag





Oleh :

I B R O H I M
0849110132


PROGRAM STUDI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
September, 2011


BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan salah satu kitab yang mempunyai sejarah panjang yang dimiliki oleh umat Islam dan sampai sekarang masih terjaga keasliannya. Al-Qur’an bukan hanya sekedar menjadi bahan bacaan, akan tetapi al-Qur’an memiliki multifungsi dan selalu cocok dengan fenomina dalam kehidupan ini, hal ini merupakan salah satu mukjizat yang dimiliki oleh al-Qur’an.
Al-Qur’an dalam pengumpulannya mempunyai dua tahap:  tahap pertama yaitu tahap pengumpulan al-Qur’an dalam arti menghafal pada masa nabi, tahap kedua pengumpulan al-quran dalam arti penulisan al-Qur’an pada masa nabi, hal ini dinamakan pengahafalan dan pembukuan tahap pertama. Setelah wafatnya Nabi proses pengumpulan al-Qur’an terus dilaksanakan oleh para khalifah sehingga terbentuklah yang namanya “Mushaf Usmani” seperti yang ada pada sekarang ini.
Penyebaran islam bertambah luas membuat dan para qurra pun tersebar dan itu memiliki latarbelakang yang berbeda sehingga menimbulkan perbedaan dalam tatacara membaca al-Qur’an sejalan dengan perbedaan “huruf” yang dengannya huruf diturunkan. Hal ini menimbulkan kecemasan dikalangan sahabat tak terkecuali khalifah pada waktu itu yaitu Usman bin Affan, melihat kejadian hal itu khalifah Usman memerintahkah dan mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman mamanggil Zaid bin Zabit al-Ansari, Abdullah bin Zabair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiganya adalah orang quraisy (al-Qattan; 2007: 193).
Khalifah Usman bin Affan memerintahkan kepada ketiga orang Quraisy itu untuk menyalin dan memperbanyak al-Qur’an dengan satu pedoman dalam cara-cara membacanya, hal ini telah disepakati oleh para sahabat. Setalah itu khalifah Usman mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsa, dan mengirimkannya kepada wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahan satu untuk di madinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan “Mushaf Imam”. Sebagaimana diriwayatkan : bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman). Ibn Jabir dalam al-Qattan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Usman :  “ Ia menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf yang ‘berlainan’ dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut (al-Qattan; 2007: 196).
Mushaf al-Qur’an ini terdiri sejumlah surah dengan nama-nama tersendiri dan juga sejumlah ayat dengan nomor urut tersendiri. Pembagian al-Qur’an ke dalam surah dan ayat tentu memiliki makna yang jelas. Setidaknya di samping menjadi lebih sistematis, akan memudahkan orang untuk membaca, mempelajari dan menghafalnya al-Qur’an. Sunnah mengharuskan orang yang shalat atau khutbah untuk membaca ayat al-Qur’an yang tidak boleh kurang dari satu ayat tidaklah menjadi sulit, tetapi malah sebaliknya akan dapat terpenuhi dengan mudah. Demikian juga dengan keharusan bagi orang yang belum mampu membaca al-Fatihah dalam shalatnya, maka ia dengan mudah dapat membaca tujuh ayat lainnya.
Di samping pembagian ke dalam surah dan ayat, al-Qur’an juga dibagi dalam bagian-bagian atau juz yang sama yang keseluruhannya berjumlah 30 juz. Pembagian al-Qur’an menjadi 30 juz berkaitan dengan jumlah hari dalam bulan Ramadhan, ketika satu juz al-Qur’an dibaca setiap harinya. Tetapi, bagian atau juz al-Qur’an tampaknya kurang diperhitungkan untuk menjadi pembicaraan dalam pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an. Berbeda dengan pembicaraan tentang surah dan ayat, banyak persoalan dan komentar tentangnya bahkan satu sama lain saling berbeda bahkan bertolak belakang (Thabathaba’i;1987:  135).




BAB II
SURAT DAN AYAT AL-QUR’AN

A.      Surat Al-Qur’an
1.      Definisi Surat
Surah jamaknya Suwar berasal dari bahasa Ibrani yaitu Shurah yang artinya suatu deratan “bekas” batu bata di dinding dan bekas pohon anggur. Ada juga pendapat yang lain bahwa surah terambil dari kata Siria (suira) yang bermakna tulisan atau teks kitab suci atau bahkan kitab suci (Watt; 1995: 90).
M. Hadi Ma’rifat berpendapat dalam bukunya bahwa Surah berasal dari kata Sural Balad artinya dinding yang mengitari kota (2007: 117). Istilah surah digunakan karena setiap surah mengandung atau membatasi ayat-ayat al- Qur’an, hal ini seperti halnya diding kota yang membatasi rumah-rumah.
Menurut Ibnu Faris berpendapat dalam Ma’rifat bahwa makna surah adalah ketinggian dan Sa’ara Yas’uru yang berarti marah dan bergejolak. Setiap tingkat dari suatu bangunan juga disebut dengan nama surah. Surah bisa juga diartikan potongan atau sisa sesuatu, sebagaimana Abu Futuh dalam Ma’rifat bahwa mahmuz, berasal dari su’rul ma’ yaitu sisa air dalam sebuah wadah. Orang-orang berkata, As’artu fil Ina (apabila kamu menyisakan sesuatu didalam wadah) (2007: 117).
Abu Ubaidah menetapkan asal usul kata tersebut, kata surah berasal ari bahasa Arab "surahun" dalam bentuk tunggal jamaknya "suurun". Seperti surahul bina’i (pagar bangunan) ia beralasan dengan sebuah ungkapan Arab : sirtu ilahi fi ali al-suri (saya berjalan kepadanya lewat puncak-puncak pagar). Al-Azhari menyangkal pendapat ini, khususnya menyangkut dengan surah-surah al-Qur’an. Dalam hal surah-surah al-Qur’an, Allah menjadikan "suwarun" jamak dari "surahun" sama dengan ghurafun jamak dari ghurfatun dan rutabun jamak dari rutbatun, serta zulafun jamak dari zulfatun. Pendapat ini dengan jelas didukung oleh ayat 13 dari surah Hud : fa'tuu bi asyri suwarin mitslihi. Andai memang ia berasal dari "surul bina'i" tentu Tuhan akan berkata "fa'tuu bi asyri surin mitslihi" (Bidan, 2005:  21).
Selain itu para ahli qiraat sepakat membaca ayat 13 dari surah Hud dengan suwarin sebagaimana kesepakatan mereka membaca sur pada ayat 13 dari surah al Hadid : "bainahum bi surin". Pemakaian semacam ini memberikan indikasi bahwa surahul Qur’an tidak berasal dari kata suril bina (Baidan, 2005: 21). Al-Qutaybi punya pendapat lain. Ia menyatakan, kata surah itu berasal dari su’run yang berarti sisa sesuatu seperti air yang tak habis diminum. Jika dihubungkan dengan al-Qur’an, maka surah merupakan bahagian dari al-Qur’an (Suyuthi, t.t:  263).
Dalam ilmu tafsir, ”term ’surah’ dimaksudkan untuk menyebut sekelompok ayat yang berdiri sendiri, mempunyai awal dan akhir serta batas-batas tertentu”. Dalam definisi ini tergambar, bahwa tiap surah al-Qur’an harus terdiri atas sekelompok ayat, paling kurang berjumlah tiga ayat seperti dalam surah al-Kautsar. Manna al-Qattan berpendapat dalam bukunya bahwasurah adalah sejumlah ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan (2007: 205). Jadi jelas bahwa pengertian surah adalah potongan-potongan al- Qur’an yang terdiri dari sejumlah ayat yang punya permulaan dan penutup.
Pada sisi terminologis, kita tidak melihat pengertian surah dalam perspektif yang berbeda. Pada umumnya memberikan definisi yang sama tentu dengan sedikit penjelasan tambahan yang berbeda. Al-Zarkasyi misalnya menjelaskan pengertian surah “sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan penutup” (al-Zarqasyi, t.t:  I, 263).


2.      Klasifikasi Surat
Surah-surah Qur’an terbagi menjadi empat bagian : 1) at-Tiwal, 2) al-Mi’un, 3) al-Masani, 4) al-Mufassal. Berikut ini kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu :
1)     At-Tiwal ada tujuh, yaitu al-Baqarah, Ali ‘Imran, al-Nisa’, al-Ma’idah, al- An’am, al-A’raf dan yang ketujuh -ada yang mengatakan- al-Anfal dan Bara’ah sekaligus karena tidak dipisah dengan basmalah di antara keduanya. Dikatakan pula bahwa yang ketujuh ialah surah Yunus.
2)     Al-Mi’un, yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3)     Al-Masani, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya di bawah al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari at-Tiwal dan al-Mi’un.
4)     Al-Mufassal, dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah al-Hujurat, dan ada yang mengatakan dimulai dari surah yang lain. Al-Mufassal dibagi menjadi tiga, yaitu : Tiwal, ausat dan qisar. Mufassal tiwal dimulai dari surah Qaf atau al-Hujurat sampai dengan Amma atau Buruj. Mufassal ausat dimulai dari surah ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun, dan Mufassal qisar dimulai dari Duha atau Lam yakun sampai dengan surah Qur’an terakhir.
Dinamakan Mufassal, karena banyaknya fasl (pemisah) di antara surah-surah tersebut dengan basmalah.
Para ulama tidak sepakat di dalam menetapkan jumlah surah-surah al-Qur’an. Mujahid, misalnya, ada yang mencantumkan 113 surah dalam mushhafnya karena al-Anfal dan al-Taubah dijadikan satu surah dengan alasan kedua surah itu tidak dibatasi / dipisah oleh Basmalah dan isi dari keduanya hampirlah sama. Ibn Mas’ud hanya mencantumkan 112 surat di dalam mushhafnya karena dua surah : al-mu’awwidzatayn (al-Falaq dan an-Nas), menurutnya tidak masuk bagian al-Qur’an sebab keduanya mirip dengan mantra (lisyubhatir ruqyah). Sebaliknya mushhaf Ubay bin Ka’ab berisi 116 surah dengan memasukkan doa iftitah (bacaan pembuka dalam shalat sebelum membaca al-Fatihah) dan qunut (doa yang dibaca setelah ruku’ pada rakaat kedua dari shalat subuh) sebagai dua surah al-Qur’an.
Dalam menanggapi perbedaan tersebut pada umumnya para ulama cenderung berpendapat bahwa surah-surah al-Qur’an itu berjumlah 114 buah sesuai dengan yang tercantum di dalam Mushhaf Usmani. Zarkasyi, misalnya berkata: “Tak ada argumen bagi kita untuk menyetujui pendapat mereka”, seraya menambahkan : “surah-surah al-Qur’an yang berjumlah 114 buah itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan para ulama terkemuka yang berwenang memutuskan (bi ittifaq ahl al-hall wa al-‘aqad).
Dari argumentasi yang dikemukakan itu, tampak bahwa pendapat al-Zarkasyi dan yang sepaham dengannya lebih kuat sebab didukung fakta sejarah, bahwa setelah Mushhaf Usmani selesai ditulis, para sahabat yang mempunyai mushhaf yang berbeda darinya rela memusnahkan mushhaf pribadi mereka, termasuk Ibn Mas’ud. Ini bukti yg nyata bahwa Mushhaf Usmani jauh lebih terpercaya dari yang lain. (Baidan, 2005:  22-23).
Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan hal pembagian surah-surah al-Qur’an itu, yang penting bagi kita ialah bahwa surah-surah yang termaktub dalam mushaf Usman itu, baik yang panjang atau yang pendek, semuanya adalah bagian dari al-Qur’an. Dengan perkataan lain, semuanya berasal dari Tuhan, sedikitpun tak ada ucapan makhluk di sana, termasuk Jibril dan Nabi Muhammad. Di antara surah-surah itu ada yang disebut makkiyyah : surah-surah yang diturunkan pada periode Mekah, sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah. Surah-surah ini meliputi dua pertiga dari keseluruhan al-Qur’an. Sedangkan yang sepertiga lagi diturunkan sesudah Nabi hijrah ke Madinah karena itu surah-surah yang turun dalam periode ini disebut madaniyah.


3.      Penentuan Letak, Nama, dan Tujuan
Al-qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Manna‘ Khalilil Al-Qattan dalam bukunya berpendapat bahwa urutan surah-surah dan ayat-ayat al-Qur’an adalah ketentuan dari Rasululah (Tauqifi). Dan hal ini Rasulullah tidaklah akan sembarangan karena al-Qur’an adalah firman Allah dan menjadi ruh bagi agama islam, sebagaiman firman Allah Swt, dalam surah Al- Qiyamah:   
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Artinya : Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
Al-Kirmani dalam al-Burhan yang dikutip oleh al-Qattan mengatakan:  “ Tertib surah yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhul Mahfudz, al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan di hadapan Jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir laki turun ialah:  dan periharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah (al- Baqorah: 281). Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di antara ayat riba dan ayat tentang utang- piutang” (2007:  49).
Para ulama juga berbeda pandangan tentang tertib surah dalam al-Qur’an, antara lain :
1.      Tertib urutan surah itu ditangani langsung oleh Nabi Muhammad sebagaimana diperintahkan Malaikat Jibril Kepada Nabi Muhammad, atas perintah Allah, dengan demikian al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertibnya ayat-ayat.
2.      Pendapat lain mengatakan bahwa tertib surah dalam al-Qur’an merupakan ijtihad para sahabat, hal ini terbukti karena adanya perbedaan-perbedaan tertib surah di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mufhaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dari Iqra’, kemudian Mudassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil dan seterusnya. Dalam mushaf Ibnu Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah Baqarah, kemudian Nisa’ dan kemudian Ali Imran. Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis adalah Fatihah, Baqarah, kemudian an-Nisa’ dan Ali Imran.
3.      Dalam pembagian tertib surah ada pula yang berpendapat bahwa, sebagian tertib surah merupakan ketepan dari Nabi Muhammad Saw, sebagian lainnya berdasarkan ijtihat para sahabat, hal ini karena terdapat dalil tertib sebagain surah pada masa nabi Muhammad. Misalnya keterangan keterangan yang menunjukkan tertib, as-sabut tiwal, al-hamim, dan al-mufassal pada masa Nabi Muhammad. (Hasanuddin, 1995:  75).
Apabila membicarakan ketika pendapat tersebut jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua yang mengatakan bahwa tertib surah berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak berdasar dan bersandar pada suatu dalil. Sebab ijtihad dari sebagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sendiri, sebelum al-Qur’an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada jaman Usman al-Qur’an dikumpulkan ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu logat dan umat pun menyepakatinya. Maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkannya. Seandainya tertib surah merupakan hasil ijtihad tentu mereka akan tetap berpegang pada mushafnya sendiri-sendiri.
Sementara ada pula pendapat yang mengatakan bahwa sebagaian surah itu tertibnya taufiqi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib taifiqi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab ketetapan yang taufiqi dengan dalil-dalilnyatidak berarti bahwa yang selain itu adalah hasil ijtihadi. Di samping itu yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.
Menurut penulis, tertib surah yang benar adalah yang berpendapat bahwa tertib surat ditangani langsung oleh Nabi Muhammad sebagaimana diperintahkan malaikat Jibril pada Nabi Muhammad atas perintah Allah, dengan demikian al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertibnya ayat-ayat.
Dalam penamaan, peletakan, dan tujuan dari penyusunan Qur’an menjadi mushaf yang seperti yang kita lihat dan dibaca pada sekarang ini,  tidak ada pendapat dari ulama atau pendapat para ahli yang menyebutkan alasan yang secara spesifik memberikan alasan dalam penamaan, tujuan, serta letaknya dari surah-surah dan ayat-ayat. Hal itu sudah ditentukan oleh Nabi sebagimana wahyu yang diterima dari Allah. Dan juga, dari surah-surah itu kebanyakan memiliki satu nama, ada sebagian surah yang memiliki dua atau beberapa nama, seperti surah al-Hamdu memiliki nama lain Fatihatul Kitab, Ummul Kitab dan Sab’ul Matsani. Jalaluddin Suyuthi menyebutkan lebih dari dua puluh nama surah ini (Ma’rifat;2007: 123).
Al-Taubah nama lainnya al-Bara’ah, al-Isra’ nama lainnya Subhan atau Bani Israel, al-Naml nama lainnya Sulaiman, al-Ghafir nama lainnya al-Mu’min, Fushilat nama lainnya as-Sajadah, Muhammad nama lainnya al-Qital, al-Mulk nama lainnya Tabarak, dan at-Tauhid nama lainnya al-Ikhlash, dan lain sebagainya (Ma’rifat;2007: 123).


B.       Ayat Al-Qur’an
1.         Definisi Ayat
Ada sejumlah pendapat dalam mendefinisikan ayat, salah satunya berpendapat bahwa ayat adalah alamat sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إلاَّ الْفَاسِقُونَ
Artinya :  Dan sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tidak ada yang ingkar kepadanya melainkan orang-orang yang fasik (al-Baqorah : 99).
Pada ayat lain Allah Swt, berfiman mendifinisikan tentang ayat :
تِلْكَ آيَاتُ اللهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
Artinya :  Itu adalah ayat-ayat Allah, kami bacakan padamu dengan hak (benar) dan Sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus (al-Baqorah : 252)
M. Hadi Ma’rifat juga berpendapat bahwa ayat al-Qur’an adalah petunjuk kebenaran firman Allah, atau setiap ayat mengandung hukum atau hikmah dan nasihat yang menjelaskannya (2007:118).
Selain itu, ayat berati tanda atau mukjizat. Manna Khalil al-Qattan juga berpendapat bahwa ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam surah dari al-Qur’an (2007:205).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut ayat adalah suatu tanda-tanda kalam Allah yang menjelaskan tentang, hukum, nasehat yang terdapat dalam sebuah surah dari al-Qur’an.


2.         Hitungan Ayat
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah ayat-ayat Quran, alasannya adalah ketika mengujarkannya, terkadang Rasulullah Saw berhenti di ayat tertentu dan tidak melanjutkan bacaannya. Seolah ayat yang dibaca Rasulullah telah selesai, dan dalam bacaan lain seringkali beliau terus melanjutkan bacaannya tanpa berhenti hingga selesai.
Dinukil dari Ibnu Abbas bahwa ayat-ayat al-Qur’an berjumlah 6600 ayat. Semua hurufnya berjumlah 320671. Ada yang mengatakan bahwa kalimat al-Quran bejumlah 77277, sebagian lain berpendapat 77934, pendapat yang lain lagi adalah 77434 kalimat.
Menurut Kufiyyin, riwayat yang paling sahih dan pasti tentang jumlah ayat al-Qur’an ialah 6236. riwayat ini dinukil dari Ali bin Abi Thalib. Jumlah ini seperti yang terdapat dalam Mushaf al-Syarif.
Hitungan ini berdasarkan pendapat bahwa Bismillahir rohmanir rohim dalam surah al-Hamdu dihitung sebagai satu ayat, namun tidak demikian dalam surah-surah yang lain. Huruf muqaththa’ah pada tiap awal surah juga dihitung satu ayat. (Ma’rifat, 2007 : 126).
Abu Abdurrahman Salmi, seorang ulama Kufah, menyebutkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an berjumlah 6236 ayat. Jalaluddin Suyuthi, seorang ulama tafsir dan fiqh, menyebutkan 6000 ayat. Imam al-Alusi menyebutkan 6616 ayat. Perbedaan pandangan mereka dalam hal ini tidak disebabkan karena perbedaan mereka menyangkut ayat-ayatnya, tetapi disebabkan oleh perbedaan cara mereka menghitungnya.
Apakah basmalah dihitung pada masing-masing surat dihitung satu saja. Apakah tiap tempat pemberhentian merupakan satu ayat atau bagian dari ayat. Apakah huruf-huruf hijaiyah pada awal surat adalah ayat yang berdiri sendiri atau digabung dengan ayat sesudahnya. Dan demikian seterusnya, sehingga timbul perbedaan di kalangan ulama.
3.         Klasifikasi Ayat
Dilihat dari periode turunnya, ayat-ayat Al-Qur’an oleh para ulama dikelompokkan menjadi ayat-ayat makkiyah dan madaniyyah. Terdapat tiga pendapat para ulama dalam memberikan pengertian makkiyah dan madaniyah.
Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat makkiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Mekah dan sekitarnya walaupun sesudah hijrah, dan madaniyah ialah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah.
Pendapat kedua menyatakan bahwa ayat Makkiyyah adalah ayat-ayat yang ditujukan kepada masyarakat Mekah yang antara lain ditandai dengan ungkapan ayyuhan-nâs, dan yang Madaniyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan untuk ditujukan pada masyarakat Madinah yang sudah beriman, yang antara lain ditandai dengan ungkapan yâ ayyuhal ladzîna âmanû.
Pendapat ketiga, merupakan pendapat yang populer, menyatakan bahwa ayat Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah walaupun turunnya di tempat selain Mekah, sedangkan ayat-ayat Madaniyah ialah ayat-ayat yang turun sesudah Nabi hijrah walaupun turun di Mekah.
Dilihat dari segi jumlahnya, ayat-ayat Makkiyah lebih banyak dari ayat-ayat Madaniyyah. Dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berjumlah 6.236 itu, ayat-ayat Makkiyyah berjumlah 4.726, sedang ayat-ayat Madaniyyah berjumlah 1.510. Ini berarti bahwa tiga perempat dari jumlah ayat-ayat al-Qur’an adalah Makkiyyah.
Ayat-ayat al-Qur’an yang secara lengkap sampai kepada kita saat kini tidak diturunkan sekaligus, akan tetapi diturunkan secara berangsur-angsur. sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin pada awal perkembangan Islam.
Ini juga berarti bahwa di antara ayat-ayat ada yang turun pertama sekali, ada yang turun terakhir sekali, dan ada pula yang turun di periode-periode antara keduanya. Dalam hal ini ada empat pendapat ulama.
Pertama, ulama yang mengatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Ayat 1-5 dari Surat al-‘Alaq, berdasarkan, antara lain, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari ‘Aisyah, yang menceriterakan kejadian yang dialami Nabi saat menerima wahyu itu.
Kedua, ulama yang menyatakan bahwa ayat yang pertama turun ialah ayat 1-5 Surat al-Muddatstsir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abi Salmah bin Abdur Rahman bin ‘Auf.
Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa ayat yang pertama turun adalah surat al-Fâtihah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Abu Maisarah ‘Umar bin Syurahbil.
Adapun yang keempat, menyatakan ayat yang pertama turun ialah bismillâhir- rahmânir-rahîm, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Wahidi dari Ikrimah dan al-Hasan.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama, yakni Ayat 1-5 dari surat al-‘Alaq merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, dan tak ada satu pun wahyu yang turun sebelum itu. Tiga pendapat yang lain; oleh al-Zarqani dikompromikan sebagai berikut; ayat 1-5 surat al-Muddatstsir merupakan ayat-ayat yang turun pertama kali setelah beberapa saat lamanya terjadi kekosongan turunnya wahyu setelah turunnya ayat 1-5 dari surat al-Alaq. Ayat-ayat dari surat al-Fâtihah mungkin dapat dipandang sebagai surah al-Quran yang diturunkan pertama kali secara lengkap, dimulai dari ayat pertama sampai dengan ayat terakhir. Surat al-Fâtihah itu turun beberapa saat lamanya setelah Muhammad diangkat sebagai Nabi.


BAB III
KESIMPULAN

Mushaf al-Qur’an ini terdiri sejumlah surah dengan nama-nama tersendiri dan juga sejumlah ayat dengan nomor urut tersendiri. Pembagian al-Qur’an ke dalam surah dan ayat yang memiliki makna jelas. Di samping sistematis, akan memudahkan orang untuk membaca, mempelajari dan menghafalnya al-Qur’an. Sunnah mengharuskan orang yang shalat atau khutbah untuk membaca ayat al-Qur’an yang tidak boleh kurang dari satu ayat tidaklah menjadi sulit, tetapi malah sebaliknya akan dapat terpenuhi dengan mudah. Demikian juga dengan keharusan bagi orang yang belum mampu membaca al-Fatihah dalam shalatnya, maka ia dengan mudah dapat membaca tujuh ayat lainnya.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama seputar surah-surah dan ayat al-Qur’an baik dari segi jumlah maupun susunan surah-surah atau ayat tidak mengurangi validitas al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang orisinil. Demikian juga pembagian al-Qur’an ke dalam surah dan ayat yang tidak sama panjang dan pendeknya, surah-surah yang paling pendek sekalipun seperti surah al-Kawtsar yang hanya terdiri dari tiga ayat, tidaklah mengurangi kemukjizatannya. Semua surah-surah al-Qur’an, baik yang panjang maupun yang pendek sama dalam hal kemukjizatannya.
Di sisi lain, perlu dicatat di akhir tulisan ini bahwa sistematika mushaf Usman harus mendapat tempat yang lebih tinggi dari sistematika mushaf pribadi, yang berbeda sistematikanya, karena telah diyakini bahwa sistematika mushaf Usman merupakan ijmak pada sahabat dan telah nyata pula tak ada sahabat yang membantahnya.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan sebagai pemahaman awal dalam memahami surah dalam al-Qur’an dan problematikanya. Dengan segala keterbatasan, kritik dan saran senantiasa kami harapkan kepada semua pembaca demi kelanjutan dan perkembangan di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

al-Qattan, Khalil Manna‘. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Trj. Mudzakir. Litera Antar Nusa : Bogor.
al-Suyuthi. t.t. al-Itqan fi Ulum al-Qur’an juz I. Dar al-Fikr : Bairut.
al-Zarkazyi. t.t. al-Kasyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil juz II. Dar al-Ma’rifah : Bairut.
al-Zarqani. t.t. Mahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an juz I. Isa Al-Bab al-Halabi : Mesir.
Baidan, Nasharuddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Pustaka Pelajar :   Yogyakarta.
Departemen Agama RI. 1971.  Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Hasanuddin. 1995. Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qira’at an Pengaruhnya terhadap Istimbath Hukum dalam Al-Qur’an. Raja Grafindo : Jakarta.
Ma’rifat, Hadi 2007.  Sejarah Al-Qur’an. Al-Huda : Jakarta.
Manzhur, Ibnu. t.t. Lisan Al-Arab juz X. Dar Shadir : Bairut.
Syadali, Ahmad Rofi’i. 1997. Ulumul Qur’an I. CV. Pustaka Setia : Bandung.
Thabathaba'i, Allamah. 1987. Mengungkap Rahasia al-Qur'an. Mizan : Bandung.
Watt, Montgomery. 1995. Pengantar Studi Al-Quran. RajaGrafindo : Jakarta.
 

0 komentar:

Posting Komentar