Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Hadis
Yang dibina oleh Dr. Kasman; M.Fil.I.
Oleh:
IDRIS MAHMUDI, Amd.Kep; S.Pd.I.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
STAIN JEMBER
Desember, 2011
ORIENTALIS MENGGUGAT HADIS
A. Prolog
Islam adalah agama yang dasarnya sangat mapan (establish) dan kokoh. Menurut Abdul Wahab Kholaf, pilar hukum Islam terdiri dari : 1. Al-Qur’an, 2. Al-Hadis, 3. Ijma’, 4. Qiyas, 5. Istihsan, 6. Masholihul Mursalah, 7. Urf, 8. Istishab, 9. Syar’u Man Qoblana, 10. Madzhab Shohabi. Kesepuluh pilar dasar hukum diatas pada akhirnya terbagi 2 besar, yaitu : Mutafaqun fiihi (4 dasar yang pertama) dan Mukhtalafun Fiihi (6 dasar yang terahir). Dari 4 dasar yang pertama dimana mayoritas mutafaqun fiihi (sepakat atas keterpakaiannya), master of law-nya adalah 2 yang pertama Al-Qur’an dan Hadis sehingga muncul slogan Ar-ruju’u ilal Qur’an was-Sunnah, (setidaknya di Indonesia slogan ini dipopulerkan oleh organisasi Muhammadiyah). Karena kedua dasar itu sama-sama wahyu yang otentik dan kebenarannya Absolut. Namun akhir-akhir ini (sejak awal/pertengahan abad 19), 2 pilar yang kokoh itu digoyang oleh gerakan Orientalisme terutama terhadap sendi hukum kedua, Hadis. Karena mereka menganggap Ia keluar dari sosok Muhammad yang kontroversial dari berbagai aspek yang berbeda dengan Al-Qur’an. Benarkah anggapan mereka ? Melalui makalah ini penulis bermaksud mengupasnya.
B. Pembahasan
Pengertian Orientalis
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur. Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kata “isme” (Belanda) ataupun “ism” (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi Orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata “orient” di dalam bahasa Perancis ialah occident, yang secara harfiah bermakna “barat”, secara geografis bermakna dunia belahan barat dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di barat. Sedangkan kata Occidental bermakna hal-hal yang berkaitan dengan dunia barat, yaitu bangsa-bangsa yang di situ beserta lingkungannya.
Berbeda dengan Orientalisme, maka kata Occidentalisme hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin-disiplin ilmu.
Lawan kata “orient” di dalam bahasa Perancis ialah occident, yang secara harfiah bermakna “barat”, secara geografis bermakna dunia belahan barat dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di barat. Sedangkan kata Occidental bermakna hal-hal yang berkaitan dengan dunia barat, yaitu bangsa-bangsa yang di situ beserta lingkungannya.
Berbeda dengan Orientalisme, maka kata Occidentalisme hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin-disiplin ilmu.
Kelompok-kelompok orientalisme secara garis besar dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok moderat dan mampu bersikap adil, dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran (kelompok Islamisist) hingga sebagiannya mendapatkan hidayah Islam misalkan salah satunya Martin Van Bruinessen dari Belanda. Kelompok ini diwakili Reenan, Jenny Pierre, Carl Leil, Tolstoy, Lord Headly, Ethan Deneeh dan Dr. Greeneh. Kedua, kelompok ekstrim dan fanatik yang dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam serta tidak menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya (kelompok Orientalis / Misionaris / Kolonialis). Kelompok ini diwakili oleh A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrad Vauk, H.A.R Gibb, Goldziher, S.M Zweimer, G. Von Grunbaum, Phillip K Hitti, A.J Wensink, L. Massignon, D.B Macdonald, D.S Margaliouth, R.L Nicholson, Henry Lammens, Josseph Schacht, Harfly Haol, Majid Kadury dan Aziz Atiah Surial.
Persepsi Orientalis Terhadap Hadist
Pembukuan hadist secara resmi baru dilakukan pada masa Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi SAW wafat. Panjangnya rentang waktu ini, bagi orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadist. Perhatian orientalis terhadap peradaban timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan timur ketika mereka (barat) kalah dalam perang salib. Perhatian ilmiah mereka pertama pada Al-Qur’ān kemudian pada sumber Islam yang kedua; al-Hadist. Kesimpulan mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan al-Hadist diragukan sebagai sabda Rasul karena panjangnya rentang waktu pengkodifikasiannya.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadist, yaitu tentang perawi hadist, kepribadian Nabi Muhammad Saw, dan metode pengklasifikasian hadis. Secara umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas hadits adalah :
- Hadits tidak ditulis pada masa Nabi SAW.
- Sahabat Umar bin Khattab menarik pendapatnya soal kodifikasi hadits.
- Para Shahabat tidak menghafal hadits.
- Sulit membedakan hadits shahih dengan yang palsu, Karena terjadi begitu banyak pemalsuan hadits.
- Hanya hadits mutawatir yang boleh dijadikan sumber hukum.
- Meragukan kredibilitas para perawi dan ulama hadits.
- Banyak hadits yang bertentangan dengan HAM.
Ditambah dengan upaya mereka meyakinkan umat Islam bahwa beragama cukup dengan berpedoman kepada al-Qur’an saja.
Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities). Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak. Tulisan Muir ini kemudian dijawab oleh Sayyid Ahmad Khan dalam esei-eseinya. Orientalis lain Montgomerywatt, menyatakan “Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya, pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil”.
Pandangan tokoh orientalis dalam mengkrikitk hadist
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M. Berbeda dengan A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee. Ignaz Goldziher adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Ia bukan saja aktif menghadiri ‘tallaqi’ dengan beberapa masyayikh di Al-Azhar, bahkan ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel asli dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar tentang Turki. Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka.
Pada tahun 1890, Ignaz Goldziher mempublikasikan hasil penelitiannya tentang hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi “kitab suci” di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia bisa sampai pada kesimpulan yang menyakinkan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan : ”Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”.” Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hadis yang berasal dari Nabi SAW. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Hadist menurutnya, tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat hadist yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya, hadist-hadist palsu itu dipakai pula oleh para penganut mazhab untuk membela dan melegitimasi pendapatnya masing-masing. Pendapat Goldziher ini tertuang dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “kitab suci” oleh para orientalis berikutnya, dimana para orientalis berkiblat padanya. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad SAW. Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi SAW. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha”.
Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam. Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi SAW, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh umat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selama ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
Pengaruh pemikiran Ignaz bukan saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalangan pemikir muslim. Ahmad Amin misalnya, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi Goldziher. Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921. Ignaz Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan faham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits), dan sekarang kaki tangan Goldziher sudah tersebar dimana-mana di dunia ini terutama sekali sarjana-sarjana Islam yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi yang dikelola oleh jaringan zionis internasional. Di Mesir ada Ali Hasan Abdul Qadir, Dr. Thoha Husein, Dr. Ahmad Amin dan Abu Rayyah, di Amerika faham ini disebarkan oleh Dr. Rasyad Khalifah dan di Indonesia oleh Dr. Snouck Hourgrounje dan kaki tangannya seperti Habib Abdurrhman Az-Zahir, Sayid Osman bin Yahya dan Tengku Nurdin.
Disamping Goldziher, Orientalis yang berpengaruh lain adalah Joseph Schacht. Ia adalah orientalis Jerman yang lahir pada 15 Maret 1902 di Rottbur, Jerman. Pada tahun 1959 ia pindah ke New York, dan menjadi Guru Besar di Universitas Coloumbia hingga meninggal pada awal Agustus 1969. Walaupun Ia merupakan orientalis spesialis dalam bidang Fiqh, namun menurut penulis bidang ini tidak akan bisa lepas dari Hadist. Karena lebih dari setengah permasalahan yang ada dalam fiqh terdapat dalam Sunnah/Hadist Nabi. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii. Pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Dia berkata, ”we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic” (Kita tidak akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi yang dapat dipertimbangkan kesahihannya). Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi SAW. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin :
- Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal akhir abad pertama.
- Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
- Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
- Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
- Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini :
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya, jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya tidak menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis, tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya. Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Bantahan Terhadap Orientalis
1. Meruntuhkan Argumen Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal pertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh. Profesor Muhammad Hamidullah (Hyderabad - Paris), Fuat Sezgin (Frankfurt), Nabia Abbot (Chicago), dan Muhammad Mustafa Al-Azami (Cambridge - Riyadh), dalam karyanya masing-masing telah berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti-bukti konkrit yang menunjukkan pencatatan dan penulisan hadits sudah dimulai semenjak kurun pertama Hijriah sejak Nabi SAW masih hidup.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan. Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah Abdul Malik bin Marwan (yang bermusuhan dengan Ibnu Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya Ibnu Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang Abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah. Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.
2. Meruntuhkan Argumen Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat/asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadikan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis. Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail, jauh lebih ke belakang lagi dari pada Schacht yang ternyata dari hasil kajiannya menyatakan sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf. Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak konsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) saja yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah SAW. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul SAW sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
Menurut Profesor Muhammad Musthafā al-A‛zamī, kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, 1950) itu disebabkan oleh lima perkara :
- Sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan.
- Bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah.
- Salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta.
- Ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji.
- Salah faham mengenai istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islam.
Karena dipandu oleh niat buruk ini, maka kajiannya pun diwarnai oleh sikap pura-pura tidak tahu (wilful ignorance) dengan sengaja mengabaikan data yang tidak mendukung asumsi-asumsinya dan memanipulasi bukti-bukti yang ada demi membenarkan teori-teorinya (abuse of evidence). Hasilnya, kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya tidak cukup valid, karena “main pukul rata” secara gegabah (hasty generalizations) dan menduga-duga (conjectures) belaka.
Epilog
Sungguh nampak kebencian barat pada timur (Islam) sehingga metodologi ilmiah yang mereka bangun di dekonstruksi (dirusak) sendiri oleh sentimentil perbedaan ideologi dan agama. Walau demikian tergambar jelas bahwa sentimen orientalis dibantah oleh para ulama, cendekiawan muslim dengan argumen yang luas dan jelas. Dengan demikian islam semakin nampak kebenarannya karena pilar hukumnya terbukti teruji dari gerakan orientalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar studi Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pustaka Al-Kausar, 2009. Jakarta Timur.
Al-Khotib, Ajaj. Assunnatu Qobla Tadwin,
Azizi, Qodri A. Hukum Nasional Ekletisme Hukum Islam dan Hukum barat, Teraju, 2004. Jakarta Selatan.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Internasional dari Timur Tengah hingga Australia,
Metodologi Studi Islam
Mudzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar, 2004. Yogyakarta.
http://insists.multiply.com/journal/item/39/Orientalisme_dan_Al_Quran_Kritik_Wacana_Keislaman_Mutakhir. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00.
http://www.mesjidui.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:attafakkur&catid=41:kajian-islam&Itemid=69, Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00
http://elmisbah.wordpress.com/persepsi-orientalis-terhadap-hadits/. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35:orientalis-menggugat-hadits-&catid=43:aliran-menyimpang&Itemid=103. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00.
0 komentar:
Posting Komentar