Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliyah
Ulumul Qur’an Yang Dibina Oleh:
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir,M.A
Dr. H. Aminullah, M.Ag
Dr. Pujiono, M.Ag
Oleh:
AHMAD IKHSAN DIMYATI
NIM. 0849110127
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MAMNAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
DESEMBER 2011
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Oleh: Ahmad Ikhsan Dimyati
I. PENDAHULUAN
Allah menurunkan Qur’an kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi mahluk Nya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karuniaNya kepada umat manusia. Diman ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerang kan jalan lurus yang harus mereka tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah ummul kitab yang tidak diperselisihkan lagi pemahamannya demi menyelamatkan umat Islam dan menjaga existensinya. FirmanNya : “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (Fushilat: 3). pokok-pokok agamA tersebut dibeberapa tempat dalam Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslib (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknnya cocok dan serasi. Tak ada kontradiktif didalamnya.
Adapun mengenai masalah cabang (furu’) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat partikal (juz’I) kepada yang bersifat universal (kulli), sementara itu beberapa hati yang memperturutkan hawa nafsu tersesat dengan ayat yang mutasyabih ini.
Dengan ketegasan dan kejelasan dalam masalah pokok dan keumuman dalam masalah cabang tersebut, maka islam menjadi agama abadi bagi umat manusia yang menjamin baginya kebaikan dan kebahagiaan didunia dan akhirat, disepanjang masa dan waktu
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
a. Makna secara Lugawi (bahasa)
Muhkam secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.[1]
Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.[2]
- Makna secara Istilah
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian muhkam dan mutasyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1) Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasask. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2). Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3). Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4). Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
5). Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6). Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7). Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.[3]
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[4]
- Contoh-Contoh Ayat
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pengertian di atas, bahwa ayat-ayat muhkam berisi tentang halal, haram, hudud, kewajiban janji dan ancaman. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih berisi tentang asma Allah dan sifat-sifatNya. Berikut akan diuraikan beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang termasuk ayat muhkam dan mutasyabih.
Contoh Ayat Muhkam
يَايّهَاالنَاسُ اِنّا خَلَقنكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَاُنْثى وَجَعَلْنكُمْ شعُوْبًا وَقباَئِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتقكُمْ اِنّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (الحجرات : 13(
Artinya : Hai manusia sesaungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (Al-Hujarat : 13)
ياَيّهَاالنَاسُ اعْبُدُوْا رَبّكُمُ اّلذِيْ خلَقكُمْ وَالّذِيْنَ مِنْ قبْلِكُمْ لَعَلكُمْ تتقوْنَ (البقرة : 21(
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (Al-Baqarah : 21)
وَاَحَلّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرّمَ الرِّبوا (البقرة : 275(
Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah : 275)
حُرّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتةُ وَالدّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَااُهِلّ لِغيْرِ اللهِ بِه (المائدة : 3(
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disenbelih atas nama selain Allah. (Al-Maidah : 3)
Contoh Ayat Mutasyabih
اَلرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى (طه : 5(
Artinya : Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayan diatas Arsy ( Thaha : 5 )
كُلّ شيْءٍ هَاِلكٌ اِلا وَجْهَه (القصص : 88(
Artinya : Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah ( Al Qashash : 88 )
وَيَبْقى وَجْهُ رَبّكَ ذُوْالْجَلالِ وَالاكْرَامِ (الرحمن : 27 (
Artinya : Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan ( Arrahman : 27 )
يَدُاللهِ فوْق اَيْدِيْهِمْ (الفتح : 10(
Artinya : Tangan Allah diatas tangan mereka ( Al Fath : 10)
بَلْ يَدهُ مَبْسُوْطتانِ (المائدة : 64(
Artinya : Tidak demikian, tapi kedua-dua tangan Allah terbuka ( Al Maidah : 64 )
2. Perbedaan pendapat tentang Muhkam dan Mutasyabih
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang defenisi muhkam dan mutasyabih dalam maknanya secara terminology, perbedaan pendapat juga terjadi dalam masalah ayat yang mutasyabih. Sumber perbedaan pendapat itu berpangkal pada masalah waqaf (berhenti) dalam ayat berikut :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الأَلْبَابِ (العمران :7)
Apakah kedudukan lafazh وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ ini berkedudukan sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah يَقُولُونَ dengan wawu ditentukan sebagai sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafazh
إِلا اللَّهُ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ ataukah ia ma’thuf, Sedang lafazh يَقُولُونَ menjadi hal dan waqafnya pada lafazh وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ Dalam hal ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama, mengatakan “isti’naf”. Pendapat ini didukung oleh sejumlah tokoh seperti Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat tabi’in dan lainnya. Mereka beralasan antara lain dengan keterangan yang diberikan oleh Al-Hakim dalam mustadrakNya, bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca; “wa ma ya’lamu ta’wilahu illa Allah, wa ar-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi.”
Juga dengan qira’at Ibnu Mas’ud, “Wa inna ta’wilahu ‘indallahi wa ar-rasikhuna fi al-‘ilmi yaquluna amanna bihi,”dan dengan ayat itu sendiri yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dan menyifatinya sebagai oarng-orang yang hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.
Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah membaca ayat ini “huwalladzi anzala “alaika al –kitab” sampai dengan “ulul albab.”Kemudian beliau bersabda: “Apabila kamu melihat orang yang suka mengikuti ayat-ayat mutasayabihat, maka mereka itulah yang disinyalir Allah. Maka waspadalah terhadap mereka.”
Pendapat kedua, mengatakan bahwa “wawu” sebagai huruf “athaf. Ini dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid. Diriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Saya telah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas mulai dari Al-Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.”
Pendapat ini juga didukung oleh Imam An-Nawawi. Dalam Syarahnya ia menegaskan, “Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.” Ulama lain yang mendukung pendapat ini adalah Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Ishaq Asy-Syirazy (476 H). Asy_syirazy berkata, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya diketahui Allah.” Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam ?”
Dengan merujuk kepada makna takwil (at-ta’wil), maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama muta’akhirin.
2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahani.
3. Takwil adalah pembicaraan tentang substansi (hakekat) suatu lafazh. Maka, takwil tentang zat dan sifat-sifat Allah ialah tentang hakekat zatNya itu sendiri yang kudus dan hakekat sifat-sifatNya. Dan takwil tentang hari kemudian yang diberitakan Allah adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri.
Golongan yang berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah” dan menjadikan “War-rasikhuna fil “ilmi” sebagai isti’naf (kalimat permulaan) mengatakan, bahwa takwil dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakekat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakekat zat Allah, esensiNya, makna nama dan sifatNya serta hakekat hari kemudian tidak ada yang mengetahui selain Allah.
Sebaliknya, golongan yang mengatakan waqaf pada lafazh ”War-rasikhuna fil ‘ilmi” dengan menjadikan “wawu”sebagai huruf athaf, bukan isti’naf. Memaknai kata takwil tersebut dengan makna yang kedua yakni tafsir. Sebagaimana dikemukakan Mujahid (seorang ahli tafsir terkemuka). Mengenai Mujahid ini Ats-Tsauri berkata, “Jika dikatakan ia mengetahui, ia mengetahui yang mutasyabih, maksudnya ialah bahwa ia mengetahui tafsirannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya hanya berkisar pada arti takwil.
Argumentasi Para ulama terhadap ayat muhkam dan mutasyabih
Secara umum penulis telah menguraikan argumentasi para ulama terhadap perbedaan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Namun dalam hal ini penulis mencoba mengkerujutkan lagi argumentasi ulama tersebut dalam dua kelompok yaitu;
1. Mazdhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri. (Tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Serta menyerahkan usrusan mengetahui hakikat kepada Allah sendiri. Sedangkan imam malik ketika ditanya tentang makna istiwa’ beliau berkata:
الاستواء معلوم و الكيف مجهول والسؤال عنه بدعة و اظنك رجل السوء اخرجوه عنّىى.
Artinya:
Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakanya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majelis saya.
2. Mazdhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.
Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana dituturkan Al-Qur’an, dan myerahkan bulat-bulat pengertian itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan pentakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa’ ditakwilkan dengan keluhuran yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kesusahan.”kedatangan Allah” ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. “Allah berada di atas hambaNya” menunjukkan kemahatinggianNya, bukan menunjukkakn bahwa Dia menempati suatu tempat. “sisi Allah” ditakwilkan dengan hak Allah. “wajah dan mata Allah” ditakwilkan pengawasanNya, dan “diri” ditakwilkan dengan siksaNya. Demikianlah prinsip penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan pada ayat Al-Qur’an ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.
Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-‘Id mengatakan bahwa apabila pentakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, pentakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf(tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah.
Ibnu Quthaibah (276 H) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah pentakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh mereka yang otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
3. Pembagian ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
a. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59
وَعِنْدَه مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ هُوَ
Artinya :
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri
b. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’[4]: 3
وَاِنْ خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
وَاِنْ خَفْـتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
c. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Artinya:
Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
4. Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Ada pepatah yang mengatakan, khudil hikmata min ayyi wi’ain kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar. Begitu pun dalam masalah muhkam dan mutasyabih. Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita ambil dari persoalan muhkam dan mutasyabih tersebut, hikmah-hikmah itu adalah:
a. Andaiakata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
b. Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Artinya:
Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fussilat [41]: 42)
c. Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk teus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir. [6]
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muhkam dan mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.[7]
Kalau hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan, setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” muhkam dan mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan karakter.
Daftar Pustaka
Manna’ Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu Alquran , Litera Antar Nusa, Jakarta, 1992.
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Alquran , Pustaka Firdaus, Cet. IV, Jakarta, 1993.
Suyuthi as, Al-Itqan Fi Ulum Alquran , Darul Fikri, Lebanon, 1979.
[1] Muhammad Chirzin. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, hal. 70.
[2] Ibid, hal. 70.
[3] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit, hal. 201-203
[4] Muhammad Chirzin, op.cit, hal. 71 atau baca bukunya Subhi ash-Shalih. 1995. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemah: Team Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 171-174.
[5] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, op.cit, hal. 206.
[6] Muhammad chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[7]Yusuf Qardhawy.1997. Op.cit. hal. 226
0 komentar:
Posting Komentar