Sabtu, 17 Maret 2012

MATERI PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS



Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendekatan Dalam pengkajian Pendidikan Islam
Yang dibina oleh Dr. Syamsun Ni’am; M.Ag.


 




Oleh:
IDRIS MAHMUDI, Amd.Kep; S.Pd.I.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
STAIN JEMBER
Desember, 2011
A. Pendahuluan.
Pendidikan islam sangatlah mulia dan memanusiakan manusia. Hal ini karena pendidikan islam disandarkan dengan kata islam yang dikenal dengan suatu agama yang damai, sejahtera dan menyelamatkan. Islam dalam teorinya dikatakan sebagai agama yang tinggi dan umatnya dalam hadis dikatakan sebagai umat unggulan, bahkan dalam Q.S. Ali Imron : 110, disebut sebagai umat terbaik. Namun mengapa islam, kualitas dan out-put pendidikan islam serta realitas umat islam terpuruk ? jauh tertinggal dengan umat lain yang non-islam (Arsalan, 1990), bahkan dengan komunitas atheis pun umat islam dan pendidikan islam tertinggal. Fakta yang lebih parah, di sekolah-sekolah/institusi formal, Pelajaran agama dan juga guru agama dianggap sebagai tambahan. Ilmu agama oleh sementara orang diberikan hanya karena melaksanakan peraturan, undang-undang, atau kewajiban. Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits belum dianggap sebagai sesuatu yang bersifat pokok, inti, amat penting dan karena itu harus dipelajari. Belum ada anggapan bahwa tanpa mempelajari al-Qur’an dan hadits maka seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat. Islam hanya dipandang sebagai sesuatu ajaran untuk akhirat. Padahal sebenarnya tidak begitu. Islam adalah ajaran untuk kepentingan akhirat dan sekaligus di dunia ini.
Selain itu, juga banyak dikeluhkan bahwa pendidikan Islam baru dipahami  sebatas sebagai bekal untuk meraih keuntungan di akhirat. Belum lagi masih terjadi dikotomik antara ilmu umum dan juga ilmu agama. Belajar agama dipahami sebagai bekal untuk mendapatkan keutungan akhirat, sedangkan belajar ilmu umum dijadikan bekal untuk meraih keuntungan duniawi. Cara pandang seperti ini, masih memerlukan koreksi yang mendasar. Seolah-olah urusan akhirat dibedakan dari  urusan duniawi. Padahal bukankah sebenarnya, urusan dunia tidak bisa dipisah dari urusan  akhirat.  Menurut ajaran yang terkandung baik dalam al-Qur’an dan hadits nabi, kedua-duanya harus diraih secara bersamaan, yaitu dengan cara memadukan agama dan sains/ilmu pengetahuan. 
Kerugian lainnya dengan cara pandang seperti di muka menjadikan umat Islam di mana-mana tertinggal dari umat lainnya, baik terkait dengan ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sosial, bahkan juga teknologi dari umat lainnya. Negara-negara Islam  pada umumnya keadaannya tertinggal dari negara yang mayoritas penduduknya non muslim. Seolah-olah umat Islam hanya sibuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Padahal bukankah sebenarnya, Islam mengajarkan agar umatnya meraih dua  keuntungan sekaligus, yaitu keutungan duniawi dan juga ukhrowi.(lihat Q.S. Al-Qoshosh : 77).
Sebagai akibat dari cara pandang tentang Islam seperti itu pula, maka komunitas Islam belum meraih keunggulan, hingga berhasil menunaikan misinya, yaitu sebagai khalifah. Alih-alih menjadi khalifah, sebatas berhasil  mengejar ketertinggalan dari sebagian umat lain saja, sudah mengalami kesulitan. Sehingga apa yang dikatakan bahwa Islam itu unggul, ternyata pada kenyataannya masih jauh panggang dari api. Umat Islam masih menjadi bulan-bulanan bagi umat lainnya. Secara ekonomi, sosial, politik, dan apalagi ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam belum menjadi pemimpin, dan bahkan sebatas mengikuti di belakang saja seringkali masih tertinggal jauh.
Kemajuan umat Islam dalam sejarahnya diraih tatkala tidak mendikotomikan ilmu pengetahuan. Pengetahuan agama dan umum dilihat sebagai satu kesatuan. Al-Qur’an sendiri mengajarkannya demikian. Islam tidak cukup didekati dari perspektif syari’ah, ushuluddin, dakwah, adab dan tarbiyah. Maka ilmu tersebut harus disempurnakan dengan ilmu alam, sosial, dan humaniora. Demikian pula, pelajaran agama Islam tidak mencukupi jika hanya diperkenalkan melalui pelajaran tauhid, fiqh, akhlak, dan sejarah. Jelas bahwa Islam tidak sebatas menyangkut agama, atau ajaran ritual, tetapi juga peradaban secara luas. Islam dalam sejarahnya pernah meraih peradaban unggul, yaitu zaman Bani Abasiyah di Baghdad dan Bani Ummayah di Andalusia (Spanyol), tatkala Islam dilihat secara utuh.
B. Pembahasan.
Makna Pendidikan Islam.
Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan Islam, diantaranya Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Sedangkan Endang Syaifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.
Materi Pendidikan Islam Berdasar Al-Qur’an dan Hadis.
Dalam konteks pendidikan islam yang universal selain ilmu yang terkait dengan ketauhidan dan peribadatan, ada jenis ilmu yang seharusnya dikaji oleh umat Islam yaitu, ilmu-ilmu  tentang jagad raya ini yang bisa diobservasi, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora. Ilmu-ilmu alam terdiri atas  fisika, biologi, kimia dan matematika. Ilmu sosial meliputi ilmu sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi. Sedangkan humaniora adalah filsafat, bahasa dan satra dan seni.
Filosof-filosof Islam sepakat bahwa pendidikan akhlaq adalah jiwa dari materi pendidikan islam. Sebab tujuan pertama dan termulia pendidikan islam adalah menghaluskan akhlaq dan mendidik jiwa. (Langgulung, 2008 : 113). Materi pendidikan harus mengacu kepada tujuan, bukan sebaliknya tujuan mengarah pada suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari kontrol tujuannya.(Abdullah, 2007 : 159).
Klasifikasi materi pendidikan islam adalah :
1.      Pengajaran tradisional (materi pengajaran agama).
2.      Bidang ilmu pengetahuan, yang meliputi Sosiologi, Psikologi, sejarah dan lain-lain. Dalam pandangan Al-Faruqi disebut “Ummatic Sciences” atau terminology Qur’an disebut “Al-Ulumul Insaniyyah”.
3.      Sub bidang ilmu pengetahuan alam, dikenal dengan “Al-Ulumul Kauniyyah” yang meliputi astronomi, biologi, botani dan lain-lain. (Abdullah, 2007 : 161-162).
Mereka semua ( Al-Kindi, Al-Farobi, Ibnu sina, Al-Ghozali, Nashirudin al-Thusi, Mulla Sadra) sepakat membagi ilmu-ilmu filosofis ke dalam ilmu-ilmu teoritis (nadzoriyyat) dan ilmu-ilmu praktis (amaliyyat). Kemudian ilmu-ilmu teoritis dibagi lagi ke dalam kelompok besar : ilmu metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam. (Ma’arif, 2007 : 25). Penggolongan dalam 2 kelompok materi ilmu oleh para filosof muslim diatas sebenarnya mengadopsi dari filosof sebelumnya yaitu Aristoteles, sehingga klasifikasi materi pendidikan islam itu bermadzhab Aristotelian, tentunya sesudah islamisasi science sesuai dengan kaidah syariah dan kultur masyarakat muslim saat itu. Al-Farobi misalnya, membuat perubahan sedikit, sedang Ibnu Sina lebih banyak. Al-Ghozali bukan hanya mengadakan perubahan, tapi membentuk pengelompokan yang sama sekali lain dari klasifikasi Aristoteles, terutama klasifikasi yang dibuatnya setelah mengalami krisis dan memilih jalan tasawuf. (Langgulung, 2008 : 347).
Secara umum, sistematika dan materi dalam kurikulum pendidikan islam harus meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu-ilmu kealaman (natural) serta derivatnya yang membantu ilmu pokoknya seperti : sejarah, geografi, sastera, syair, nahwu, balaghoh, filsafat dan logika. Materi / mata pelajaran untuk tingkat rendah adalah Al-qur’an dan agama, membaca, menulis dan syair. Dalam beberapa kasus lain ditambahkan nahwu, cerita dan berenang (unsur materi jasmaniah), namun titik tekannya pada membaca Al-Qur’an dan mengajarkan prinsip-prinsip pokok agama. Khusus materi tingkat dasar bagi peserta didik dari anak para amir / penguasa agak berbeda sedikit, yaitu ditegaskan pentingnya pengajran khitobah, ilmu sejarah, cerita epic (perang), cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Al-qur’an, syair dan fiqih. (Langgulung, 2008 : 114).
Universalitas materi/kontent pendidikan islam tergambar jelas pada Firman Allah yang pertama kali turun (Q.S. Al-Alaq : 1-5) :
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. ...”
Pertanyaannya adalah membaca apa dan apa yang perlu dibaca ?
Hadis nabi yang mashur juga menyatakan :
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim baik pria maupun wanita”.
Pertanyaannya adalah ilmu apa yang perlu dicari ? tentunya keumuman ayat dan hadis diatas menunjukkan bahwa semuanya harus dibaca dan semua ilmu harus dicari serta dikuasai. Inilah sebenarnya area, materi dan kontent dalam pendidikan islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis. Tidak ada dikotomi ilmu dalam pendidikan islam, semisal ilmu umum dengan ilmu agama, ilmu dunia maupun ilmu akhirat. Lebih jauh lagi terkait dengan ilmu dan agama, sungguh luar biasa ungkapan Einstein seorang fisikawan modern yang secara normatif non-islam tapi dengan lantang berkata : ”Religion without science is lame, but science without religion is blind” (agama tanpa ilmu adalah pincang, tapi ilmu tanpa agama adalah buta). (Ma’arif, 2007 : 33). Dari sini, penulis merasa kurang sepakat dengan pembagian materi pendidkan islam dalam kitab Ta’limul Muta’alim yang sangat familier di kalangan pesatren tradisional yang kutipannya :
“Ilmu hakikatnya hanya ada 2, ilmu fiqih untuk kesempurnaan agama dan ilmu kedokteran untuk kesehatan jasmani/badan. Selain keduanya hanyalah hampa dan dinilai sebagai omong kosong belaka”.(Az-Zarmuji : 9).
Tanpa mengurangi rasa takdzim pada penulis kitab tersebut, namun menurut hemat penulis materi pendidikan islam sangatlah luas dan universal. Hal ini juga nampak jelas dalam Q.S. Al-Haqqoh : 38-39 :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan terhadap apa yang kamu tidak melihatnya”.
Dari ayat diatas objek pendidikan islam lebih luas lagi jangkauannya. Bukan hanya yang materi tapi juga yang immateri, mencakup wilayah fisik maupun metafisik.
Semua jenis ilmu itu mestinya dipelajari oleh umat Islam dalam arah baru pendidikan islam secara mendalam sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ilmu tersebut dipelajari untuk mengantarkannya pada ketauhidan dan kesempurnaan ibadah. Setelah mempelajari fisika, biologi, psikologi, sejarah dan lain-lain, seseorang akan mengakui dan menyebut atas kebesaran dan ke-Maha Suci-an Allah swt., dengan bertasbih, bertahmid dan bertahlil. (lihat Q.S. Ali Imron : 190-191).         
Dalam konsep Islam ilmu pengetahuan hanya satu, yaitu semuanya sama dari Allah dan menuju ke Allah. Untuk kepentingan pendidikan, pengetahuan yang menyatu itu harus diklasifikasikan. Klasifikasi pengetahuan itu ialah pengetahuan yang diwahyukan (Naqli / bersifat agamis) dan pengetahuan yang diperoleh (Aqliyyun / ilmu keduniaan umum). Sedangkan klasifikasi yang ditawarkan oleh konfrensi pendidikan  di King Abdul Aziz adalah Perrenial Knowledge dan Acquired Knowledge. Sebagaimana kutipan berikut :
“Planning of education to be bassed on the classification of knowledge into two categories : a. “Perennial” knowledge derived from the Qur’an and Sunnah meaning all shari’ah oriented knowledge relevant and releted to them, and b. “Acquired” knowledge susceptible to quantitative growth and multiaplication, limited variations and cross cultural borrowing as long as consistency with shari’ah as the sources of values is maintened”.
 Secara lengkap pengklasifikasian hasil konfrensi itu ialah:
Kelompok I.
1. Al-Qur’an :  meliputi qiraah, hafalan, tafsir, sunnah, shirah (nabi, sahabat dan tabi’in)  tauhid, ushul fiqh dan bahasa al-Qur’an.
2. Pengetahuan pembantu :  meliputi metafisika Islam, perbandiangan agama dan kebudayaan Islam.
Kelompok II:
1. Pengantar imajinatif : meliputi arsitektur Islam dan bahasa-bahasa.
2. Pengetahuan intelektual : meliputi pengetahuan sosial yang mencakup kesusastraan, filsafat politik, pendidikan, ekonomi, geogarafi, sosiologi, linguistik, psikologi dan antropologi.
3.  Pengetahuan terapan (Applied sciences) : meliputi rekayasa dan teknologi, kedokteran, pertanian dan kehutanan.
4. Pengetahuan praktis : meliputi perdagangan, administrasi, perpustakaan dan komunikasi.
Hasil rekomendasi Konferensi pendidikan islam sedunia di Jeddah pada 31 Maret – 8 April 1977 diatas juga telah merumuskan konsep umum dan menyeluruh tentang pendidikan islam dengan mengintegrasikan nilai-nilai dan ideologi islam ke dalam teori-teori ilmu sosial, kemanusiaan, filsafat, sosiologi dan kebijaksanaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi rekomendasi konferensi itu sampai saat ini belum terlaksana. (Ma’arif, 2007 : 47).
Dikotomi Pendidikan Islam
Seminar pendidikan islam Internasional di Nigeria tahun 1977 telah menolak adanya sekularisasi dalam pendidikan islam. (Abdullah, 2007 : 165). Tentang dikotomisasi pendidikan, Sayyed Hossein Nasr (1976 : 13) juga menyatakan, “dalam Islam tidak dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dengan ilmu profane”. (Ma’arif, 2007 : 25).
Diantara faktor keruntuhan peradaban islam (The golden age of islam) adalah adanya dikotomisasi terhadap ilmu pengetahuan, artinya di kalangan umat islam terjadi pembedaan yang sangat tajam antara sains-sains agama (Ulumul Syari’ah) atau sains-sains tradisional (Ulumun Naqliyyah) dan sains-sains rasional atau sekuler (Ulumul Aqliyyah atau ghoirul syari’ah). Meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud dalam pengantarnya untuk karya Syamsul Ma’arif dikotomi itu adalah Islamic knowledge dan non-islamic knowledge.(Ma’arif, 2007 : 27&viii). Ibnu Kholdun juga membagi materi ilmu dalam 2 kelompok, yaitu ilmu naqli (wahyu) dan ilmu aqli (akal) yang masing-masing dibagi pada beberapa cabang ilmu pengetahuan. (Langgulung, 2008 : 347).             Singkatnya, meminjam bahasanya Amin Abdullah (2003 : 3), “ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu”. (Ma’arif, 2007 : 14). Abdurrahman Mas’ud (1999 : 9) dalam salah satu penelitiannya menunjukkan, bahwa cara pandang yang dikotomik tersebut pada akhirnya telah membawa kemunduran dalam dunia pendidikan islam. (Ma’arif, 2007 : 15). Dari situ pula kemudian muncul pembagian hukum ilmu, dimana fardlu ain untuk ilmu agama dan fardlu kifayah untuk ilmu umum. (Ma’arif, 2007 : 13). Pembagian hukum dan macam materi pendidikan / ilmu ini juga bisa dilihat dalam karya Hasan Langgulung. (Langgulung, 2008 : 113). Oleh karena itu Ali Asyrof dalam bukunya New horizon of Islamic education menyatakan, pendidikan jangan berbicara soal agama melulu, tapi juga membahas soal bagaimana kehidupan di dunia ini serta interaksi antar manusia. (Ma’arif, 2007 : 8). Dalam kata sederhana materi pendidikan islam komprehensif dan integralistik.
Abdurrahman Mas’ud dalam pengantarnya untuk karya Syamsul Ma’arif menyatakan, Dalam rangka revitalisasi pendidikan islam, kiblat umat islam bukanlah barat, tapi pendidikan islam harus disandarkan kepada telaah filosofis antropologis, yang menjadikan Al-qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas sebagai dasarnya. (Ma’arif, 2007 : X).
Kedua jenis pengetahuan di atas pada dasaranya harus diintegrasikan  sebab dalam Islam ilmu teori umum harus dipandang dari kaca mata Islam. Caranya, menurut Ahmad Tafsir, semua pengetahuan jenis kedua (yang diperoleh) harus diajarkan dengan menggunakan perspektif Islam. Itulah cara mengintegrasikan pengetahuan.  
Studi Kasus Implementasi Pendidikan Islam di PT.
Pertama :
UIN Maliki Malang mewajibkan seluruh mahasiswanya pada tahun pertama mengikuti program ma’had Aly, dan sebagian juga tahun ke dua, bagi yang memerlukan. Selain itu, seluruh mahasiswa apapun jurusan yang diambil diwajibkan untuk belajar Bahasa Arab, selain Bahasa Inggris. Bahasa Arab diperlukan sebagai alat untuk memahami al-Qur’an dan Hadits Nabi secara mandiri. Kitab suci al-Qur’an dan hadits nabi, di UIN Maliki Malang diposisikan sebagai sumber ilmu, yakni sebagai ayat-ayat qauliyah untuk mendapatkan kebenaran. Selain itu, sivitas akademika dalam mengembangkan pengetahuan juga menggunakan ayat-ayat kauniyah, yakni hasil observasi eksperimentasi dan penalaran logis.
Kedua :
Materi misi Al-Islam (pendidikan agama islam) di semua fakultas UNMUH seluruh Indonesia dibuat berjenjang dan diwajibkan ke semua fakultas dalam 3 semester yaitu Al-islam 1, Al-islam 2 dan al-Islam 3 (pengkajian pendidikan islam sesuai jurusan/pendidikan islam interdisiplinary).
Dari 2 contoh implementasi diatas akan mengembalikan universalitas pendidikan islam dan lambat laun akan menghilangkan stigma dikotomi pendidikan.
C. Penutup.
Pendidikan islam harus merujuk pada semangat Al-Qur’an dan Hadis kembali (Arruju’ ilal qur’an was sunnah). Dengan begitu akan terlihat bahwa tidak ada dikotomi maupun sekularisasi lagi antara ilmu umum maupun ilmu agama. Materi dan kurikulum pendidikan islam sesuai konsep islam (Al-Qur’an dan Hadis) adalah integral dan komprehensif.









DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, PT Rineka Cipta, 2007. Jakarta.
Az-zarmuji, Burhanudin. Syarah kitab Ta’limul Muta’alim.
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna Baru, 2008. Jakarta.
Ma’arif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha Ilmu, 2007. Yogyakarta.
Hand out dalam ceramah di UNMUH Purworejo Jawa Tengah pada Kamis 23 September 2010, diakses pada Jumat, 16 September 2011, 14.00.
Makalah Hujair AH. Sanaky, diakses pada Juni 2011.
Makalah Idris Mahmudi dalam partisipasi ACIS 2011 ke-11 di Bangka Belitung.
Terjemahan Syamilul Qur’an, Sygma Publishing, 2010. bandung.
http://mghazakusairi.wordpress.com/2011/05/23/pendidikan-dalam-al-quran-hadits/


0 komentar:

Posting Komentar